A+ | Dendam sejarah keluarga lima wartawan Australia yang tewas saat tentara Indonesia memasuki Balibo, Timor Timur, pada 1975 kembali menjadi komoditas media Australia. Kali ini, Channel Nine mengangkat kisah "pencarian keadilan" Greig dan Ann, dua saudara Gary Cunningham, dalam program 60 Minutes. Tayangan ini kembali memanaskan isu lama dengan narasi yang seragam: Indonesia sebagai pembunuh.
Tak banyak yang baru dalam pemberitaan Channel Nine. Mereka menampilkan cuplikan film Balibo (2009), mengunjungi rongsokan rumah tempat para wartawan tewas, dan mewawancarai seorang pria Timor Timur yang mengaku menyaksikan "aksi pembantaian" oleh pasukan TNI. Tak lupa, mereka juga mewawancarai Presiden Timor Leste Ramos Horta dan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah.
Reporter Channel Nine bahkan bertanya apakah Pemerintah RI akan mengekstradisi Yunus Yosfiah, mantan perwira TNI yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan, ke Australia. Teuku Faizasyah dengan tegas menjawab bahwa kelima wartawan tersebut tewas dalam baku tembak, bukan dieksekusi. Tak ada ekstradisi, karena Indonesia memandang kasus "Balibo Five" sudah selesai.
Media dan Dendam Lama
Bukan kali ini saja Australia menggiring opini tentang "Balibo Five". Polisi Federal Australia (AFP) bahkan membuka kembali penyelidikan pada 8 September 2009, tak lama setelah film Balibo tayang di Festival Film Melbourne dan Brisbane. Media di sana seolah terus menggali luka lama yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang lebih bijak.
Sebetulnya, opini publik Australia tentang siapa yang bertanggung jawab sudah dibentuk sejak lama. Pada 16 November 2007, Pengadilan Koroner NSW menyatakan bahwa personel TNI membunuh lima wartawan Australia atas perintah Komandan Lapangan Kapten Yunus Yosfiah. Pemerintah Australia menjadikan keputusan ini sebagai dasar bagi AFP untuk membuka kembali kasus tersebut.
Namun, Menteri Luar Negeri Australia, Stephen Smith, berusaha mencuci tangan. Ia menegaskan bahwa pemerintah Australia tak punya andil dalam keputusan AFP dan menyebut penyelidikan ini sebagai langkah independen. "Sebagai Menlu, saya tidak punya peran dalam keputusan ini," katanya di Perth, 11 September 2009.
Perspektif Indonesia: Selesaikan Secara Bijak
Indonesia punya pandangan berbeda. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar Australia mendukung kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan (CTF) Indonesia-Timor Leste, yang bertujuan mengakhiri konflik sejarah dengan bijaksana. SBY mengingatkan bahwa hubungan baik Indonesia dan Australia bisa terganggu jika media terus menggiring opini tanpa dasar yang kuat.
"Ini penting agar hubungan dengan Australia yang sekarang dalam keadaan baik, bahkan sangat baik, tidak terganggu karena cara berpikir yang tidak tepat," kata SBY.
Sejak insiden 34 tahun lalu, nama Yunus Yosfiah terus terseret dalam polemik ini. Mantan Menteri Penerangan di era BJ Habibie itu sudah berulang kali membantah tuduhan terhadapnya. Namun, media Australia tampaknya tak pernah puas. Mereka terus menggali kembali luka lama demi rating dan sensasi.
Jadi, benarkah ini soal keadilan? Ataukah hanya strategi media yang tak ingin kehilangan isu panas?
0 Komentar