Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Kontroversi Syarat Usia Calon Kepala Daerah Jadi Syarat Pelantikan. Tuman!


 "Tuman (bahasa Jawa) adalah mereka yang, setelah merasakan manisnya satu kesempatan, akan selalu berusaha mencari peluang untuk mengulanginya, meski harus melangkah di jalan yang sama dan jadi bahan gunjingan berkali-kali."


A+ | Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini mengeluarkan putusan yang membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait syarat pencalonan kepala daerah, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Keputusan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan kontroversi, terutama karena PKPU tersebut sebenarnya diambil dari ketentuan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2016.

 

"Syarat Usia Calon" Kepala Daerah Menjadi "Syarat Pelantikan"

Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2016 secara jelas menyebutkan bahwa calon gubernur/wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun, sementara calon bupati/wakil bupati dan calon wali kota/wakil wali kota harus berusia minimal 25 tahun pada saat mencalonkan diri. Namun, MA dalam putusannya mengubah interpretasi ini menjadi syarat pelantikan, bukan syarat pencalonan.

Pertanyaan utama yang muncul adalah: Mengapa MA menganggap PKPU tersebut bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2016, padahal PKPU itu mengadopsi materi dari undang-undang yang sama?

 

Analisis Putusan MA

MA beralasan bahwa penafsiran KPU terhadap Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2016 tidak tepat. Menurut MA, usia minimal tersebut harus dipenuhi pada saat pelantikan, bukan pada saat pendaftaran pencalonan. Hal ini berarti calon kepala daerah yang belum mencapai usia minimal pada saat mendaftar tetapi akan mencapainya pada saat pelantikan, seharusnya tetap diperbolehkan untuk mencalonkan diri.

Keputusan ini menciptakan ketidakpastian hukum dan kebingungan di kalangan masyarakat dan penyelenggara pemilu. Bagaimana bisa suatu ketentuan yang secara tekstual diambil langsung dari undang-undang yang berlaku dinyatakan bertentangan dengan undang-undang tersebut?


Implikasi bagi Demokrasi dan Sistem Pemilu

Mudahnya mengubah interpretasi dan aturan hukum sesuai dengan selera atau kepentingan tertentu menimbulkan beberapa implikasi serius bagi demokrasi di Indonesia:

1. Ketidakpastian Hukum: Ketidakpastian hukum ini dapat mengganggu proses pemilu yang adil dan transparan. Para calon dan pemilih menjadi bingung mengenai aturan yang berlaku, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap sistem pemilu.

2. Manipulasi dan Kepentingan Politik: Perubahan aturan yang tiba-tiba dan tidak konsisten membuka peluang bagi manipulasi hukum untuk kepentingan politik tertentu. Hal ini bisa menguntungkan calon-calon tertentu dan merugikan calon lainnya yang sudah mempersiapkan diri sesuai dengan aturan awal.

3. Pengikisan Integritas Institusi: Keputusan seperti ini dapat merusak integritas dan kredibilitas lembaga-lembaga terkait, seperti KPU dan MA, yang seharusnya bertindak independen dan berdasarkan hukum, bukan kepentingan politik.

 

Kasus Serupa di Pilpres 2024 dan Pilkada 2024

Kasus serupa juga terjadi dalam pencalonan cawapres pada Pilpres 2024, di mana aturan mengenai syarat pencalonan diubah dan menimbulkan kontroversi. Jika pola ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin hal yang sama akan terjadi pada Pilkada 2024. Setiap perubahan aturan yang tidak konsisten akan selalu menimbulkan potensi konflik dan ketidakpastian dalam proses demokrasi.

Untuk mencegah hal ini terulang, penting bagi semua pihak, terutama lembaga penegak hukum dan penyelenggara pemilu, untuk menjunjung tinggi konsistensi hukum dan independensi. Peraturan pemilu harus ditegakkan secara adil dan transparan, serta tidak diubah-ubah untuk mengakomodasi kepentingan politik tertentu.


Kesimpulan

Putusan MA yang membatalkan PKPU terkait syarat pencalonan kepala daerah menimbulkan banyak pertanyaan dan kekhawatiran. Meski PKPU tersebut sebenarnya diambil dari ketentuan UU No. 10 Tahun 2016, MA menganggapnya bertentangan dengan undang-undang tersebut. Keputusan ini berdampak negatif terhadap kepastian hukum dan integritas proses pemilu di Indonesia. Untuk menjaga demokrasi yang sehat, diperlukan konsistensi hukum dan ketegasan dalam menegakkan aturan tanpa intervensi kepentingan politik.

 

 "Cogitationis poenam nemo patitur"

 

📱📞MAHAR PRASTOWO

Posting Komentar

0 Komentar