![]() |
Ilustrasi by ai |
Di sudut kecil Desa Donomulyo, Secang, Magelang, ada sebuah ruang yang tak banyak menarik perhatian. Hanya sebuah pojok dengan rak kayu sederhana, deretan buku yang masih sepi peminat, dan seorang guru honorer yang percaya bahwa membaca bukan sekadar kegiatan, melainkan perjalanan. Namanya Bu Krisnaning.
"Saya bukan siapa-siapa," katanya merendah. "Hanya seseorang yang percaya bahwa kata-kata bisa tumbuh, merambat, dan menemukan tempatnya."
Begitulah Pojok Baca Lumbung Kawruh bermula. Dari lemari tua yang penuh buku-buku lama, dari kepercayaan bahwa membaca bukan hanya milik mereka yang punya waktu luang, tapi juga hak bagi mereka yang sibuk dengan kehidupan sehari-hari.
Ketukan di Pintu, Sebuah Awal
Bukan perkara mudah mengenalkan buku kepada anak-anak yang lebih akrab dengan layar ponsel. Bukan perkara mudah meyakinkan para ibu bahwa membaca bukan sekadar hiburan, tetapi bekal. Bukan perkara mudah pula mengajak para bapak melihat manfaat buku di tengah kesibukan sawah dan pasar.
Tapi Bu Kris tak berhenti. Ia mengetuk pintu, memanggil anak-anak, mengajak mereka duduk bersila, membuka halaman, dan bercerita. "Kadang mereka bosan, kadang mereka hanya ingin mendengar suara saya membacakan," katanya. "Tapi saya percaya, kata-kata punya cara sendiri untuk bekerja di dalam pikiran mereka."
Pelan tapi pasti, buku mulai menemukan pemiliknya. Anak-anak mulai bertanya. Mereka mulai menghafal nama pengarang, menatap halaman lebih lama. Para ibu mulai berbincang tentang buku parenting, sementara bapak-bapak mulai membaca tentang pertanian.
Dukungan yang Datang Perlahan
Tak disangka, upaya kecil itu menarik perhatian Kepala Desa Donomulyo, Bramantyo Heru Wahyudi. Suatu hari, ia datang, berdiri di depan rak kayu itu, lalu tersenyum.
"Bu Kris, ini luar biasa. Kita harus menjaganya," ujarnya.
Nama Pojok Baca Lumbung Kawruh pun disebut dalam Evaluasi 10 Program Pokok PKK Desa Donomulyo. Di depan Camat Secang, Supomo, di depan tim penilai kabupaten, di antara pembahasan yang biasanya hanya berkutat pada angka dan laporan program.
"Ini langkah konkret dalam menciptakan masyarakat yang lebih peka, lebih sadar akan dunia yang lebih luas," kata Supomo. Kata-kata itu sederhana, tapi cukup untuk membuka pintu yang lebih besar.
Janji mulai terdengar. Akan ada tambahan buku. Akan ada rak baru. Akan ada ruang yang lebih luas. Meski Krisnaning tak tahu kapan semua itu akan terwujud, satu hal yang ia yakini: Pojok Baca Lumbung Kawruh tidak lagi berjalan sendiri.
Menjaga Api di Tengah Sunyi
Namun, tantangan tetap ada. Dunia digital bergerak lebih cepat, lebih gemerlap, lebih menggoda. Buku terasa terlalu sunyi dibandingkan ponsel yang berkedip-kedip dengan notifikasi.
Rak kayu di Pojok Baca masih setengah kosong. Masih banyak buku yang perlu ditambahkan, masih banyak pembaca yang perlu diyakinkan. "Tapi saya percaya, selama masih ada satu orang yang membuka halaman, masih ada harapan," ujar Bu Kris.
Di sudut kecil Donomulyo, kata-kata itu masih menunggu. Menunggu tangan-tangan kecil yang penasaran, menunggu ibu-ibu yang ingin tahu lebih banyak, menunggu para bapak yang mulai percaya bahwa membaca bukan hanya tentang mengisi waktu, tetapi tentang mengisi kehidupan.
"Buku tidak pernah mati," kata Bu Kris. "Mereka hanya menunggu untuk ditemukan."
Di beranda rumahnya, secangkir kopi pahit dan singkong rebus menyudahi percakapan hari itu. Matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan yang membentang di bawahnya berlarik-larik persawahan, ditingkah gemericik sumber air Tuk Jago.
Sementara kata-kata yang tadi terucap tetap menggema dalam sunyi.
* * *
0 Komentar