A+ | Media Singapura, Channel News Asia (CNA) menjuluki Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi sebagai Menteri 'Giveaway'. Menteri ‘bagi-bagi’ atau 'balas budi' itu menghadapi tekanan yang semakin meningkat untuk mengundurkan diri setelah serangan siber terburuk dalam beberapa tahun terakhir. Mungkinkah? Noway, lah.
Meski petisi daring yang menuntut pengunduran diri Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi telah mengumpulkan lebih dari 18.000 tanda tangan.
Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, Budi Arie Setiadi, menghadapi seruan yang semakin besar untuk mengundurkan diri setelah serangan ransomware yang sedang berlangsung di pusat data nasional Indonesia yang telah mempengaruhi 239 lembaga, termasuk 30 kementerian dan lembaga pemerintah.
Petisi Change.org yang mendesak Pak Budi untuk mundur telah mengumpulkan lebih dari 18.000 tanda tangan sejak diluncurkan pekan lalu oleh organisasi masyarakat sipil yang berbasis di Bali, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Petisi tersebut menyatakan Budi harus bertanggung jawab atas pelanggaran keamanan siber tersebut.
Direktur eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, juga menuduh Budi diberikan jabatannya karena mendukung Presiden Joko Widodo saat mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2014 dan 2019.
"Jangan lanjutkan 'bagi-bagi' seperti ini ... Ini (peran) adalah posisi yang sangat strategis terutama karena kita tidak bisa terpisah dari dunia digital," kata Nenden, seperti dikutip oleh Kompas pada Kamis lalu (27 Juni).
Budi sebelumnya adalah ketua Projo, sebuah kelompok relawan yang didirikan pada tahun 2013 yang mendorong dan mendukung pencalonan Joko Widodo sebagai presiden.
Joko Widodo mengangkat Budi sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada tahun 2019 dan menunjuknya sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika pada Juni 2023.
Budi lulus dalam ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia dan melanjutkan studi pascasarjana di manajemen pembangunan sosial, menurut situs web kementeriannya.
Budi menolak berkomentar tentang petisi tersebut. "Tidak ada komentar tentang itu. Itu hak rakyat untuk bersuara," katanya, seperti dikutip oleh Liputan6.
Namun, Projo mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa petisi tersebut bermotif politik. Itu dibuat oleh pihak-pihak yang menentang Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024, kata kelompok tersebut. Prabowo adalah calon yang secara luas dilihat mendapat dukungan dari Joko Widodo dalam pemilu Februari, dan menang telak.
"Dari pemantauan yang dilakukan tim, tokoh-tokoh (di balik petisi) adalah mereka yang secara politik menentang dalam konteks pemilihan presiden 2024," kata sekretaris jenderal Projo, Handoko, seperti dikutip oleh Kumparan pada Minggu (30 Juni).
Namun, Nenden dari SAFEnet membantah adanya motif politik di balik petisi tersebut. "(Kinerja Pak Budi) berdampak langsung pada publik. Isu politik adalah sekunder karena ini untuk kepentingan publik," katanya.
Serangan ransomware bulan lalu adalah yang terburuk di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dan telah mengakibatkan kehilangan data, gangguan akses publik terhadap data, dan perlambatan layanan online dari lembaga-lembaga yang terkena dampak.
Otoritas Indonesia mengatakan serangan tersebut dilakukan menggunakan perangkat lunak yang dikembangkan oleh kelompok ransomware Rusia, LockBit.
Pusat data nasional yang terkena dampak menyimpan informasi penting termasuk data penduduk seperti nama, alamat, nomor identitas pribadi, dan data keluarga. Pusat tersebut juga menyimpan informasi khusus sektor, seperti program kesehatan nasional dan kurikulum pendidikan.
Serangan tersebut juga mengganggu layanan imigrasi termasuk yang terkait dengan visa, izin tinggal, dan aplikasi paspor online. Pada 21 Juni, antrean panjang terbentuk di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta karena pemeriksaan paspor harus dilakukan secara manual setelah sistem otomatis turun.
Direktur Jenderal Imigrasi Indonesia, Silmy Karim, mengatakan pada Jumat lalu bahwa sistem mereka telah sepenuhnya pulih. Namun, tidak semua data berhasil dipulihkan untuk beberapa agen imigrasi, katanya.
Pemerintah hanya mengumumkan serangan ransomware pada 24 Juni dan mengungkapkan luasnya serangan pada 27 Juni, ketika Budi melakukan rapat kerja dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Pemerintah Indonesia menolak membayar tebusan sebesar US$8 juta yang diminta oleh peretas untuk mendapatkan kembali data yang terenkripsi, kata Budi.
Serangan ransomware ini juga mengungkapkan kerentanan siber Indonesia.
Ketua Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Hinsa Siburian, mengatakan 98 persen data yang disimpan di pusat data yang dikompromikan tidak memiliki cadangan.
"Secara umum kami melihat masalah utamanya adalah tata kelola dan tidak ada cadangan," katanya pada sidang parlemen pada 27 Juni, seperti dilaporkan oleh Reuters.
Beberapa anggota parlemen membantah pernyataannya. "Jika tidak ada cadangan, itu bukan kurangnya tata kelola," kata Meutya Hafid, ketua komisi yang mengawasi insiden tersebut. "Itu kebodohan."
Joko Widodo telah memerintahkan audit pusat data pemerintah.
Sumber: Channel News Asia
0 Komentar