Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Anak-anak, Tanah, dan Sebuah Perlawanan yang Tak Diridhai Langit

ilustrasi pagar betis anak sekolah

A+ | Tangerang – Pagi itu, matahari masih berselimut kabut tipis, tetapi halaman Madrasah Aliyah Raudhatul Irfan sudah penuh sesak oleh tubuh-tubuh kecil berseragam putih abu-abu. Anak-anak itu, yang biasanya menekuri kitab dan menghafal ayat-ayat suci, hari itu mereka berdiri dalam barisan, memagari madrasah yang telah sekian tahun menjadi rumah mereka. Di antara mereka, ada yang menggenggam erat kitab suci, ada yang merapal doa dengan wajah tegang, dan ada yang menangis dalam diam. Hari itu, mereka bukan lagi murid, melainkan benteng terakhir sebuah perlawanan yang tak dikehendaki langit.

Di depan sana, aparat datang membawa surat eksekusi. Hitam di atas putih, tanah yang sebagiannya menjadi tempat madrasah itu berdiri telah sah menjadi milik ahli waris, sebagaimana tertulis dalam putusan Mahkamah Agung.

Tanah ini, seluas beberapa ribu meter persegi di Kelurahan Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, adalah tanah yang diam, tetapi di atasnya telah tumbuh sekian banyak kehidupan. Bertahun-tahun, ia menjadi tempat anak-anak mengaji segenap bidang ilmu, tempat guru-guru menanamkan kebijaksanaan, tempat para alumni mengenang masa-masa muda mereka. Tetapi tanah tidak memiliki hati. Ia hanya berdiri dalam diam, menanggung sengketa yang tak pernah selesai.

Ahli waris tanah ini telah berjuang sejak tahun 2016. Mereka menempuh jalur hukum, mengadu pada Pengadilan Negeri Tangerang, lalu ke Pengadilan Tinggi Banten, dan akhirnya ke Mahkamah Agung. Setiap pengadilan memberikan jawaban yang sama: tanah ini milik ahli waris. Bukan tanah wakaf, bukan milik yayasan, melainkan hak turun-temurun yang harus dikembalikan kepada mereka yang berhak.

Bustomi, salah satu guru madrasah, berkeras mempertahankan tanah berikut gedung sekolah.

Di sisi lain, kuasa hukum ahli waris, H. M. Sirot, S.H., M.H., yang juga direktur LBH GM Trikora, berbicara dengan suara tegas.

 
“Kami tidak ingin menutup sekolah. Kami hanya menuntut hak yang telah ditetapkan hukum. Tetapi mengapa harus melibatkan anak-anak dalam sengketa ini?”


Anak-anak yang Dijadikan Perisai

Hari itu, tanah yang seharusnya diam, justru menjadi saksi dari suara-suara pilu yang memecah udara. Para siswa diminta berdiri di barisan depan. Sebagian dari mereka hanya menunduk, tidak memahami sepenuhnya mengapa mereka ada di situ. Tetapi ketika para guru mengangkat tangan mereka dan meneriakkan perlawanan, anak-anak itu pun ikut berseru.

“Kita bertahan! Jangan biarkan madrasah ini diambil!” seru seseorang, suaranya penuh amarah.

Tetapi di balik pekikan itu, ada anak-anak yang tangannya gemetar. Mata mereka menyapu wajah-wajah aparat yang berdiri tak jauh dari sana dan tangan-tangan yang menggenggam surat eksekusi.

Di antara mereka, ada yang terisak. Ada yang ingin berlari pulang, tetapi takut dikatakan pengecut. Ada yang ingin menunduk, tetapi takut dikira tidak peduli. Dan di langit, burung-burung yang biasanya hinggap di pohon-pohon madrasah pagi itu memilih terbang lebih jauh.


Perlawanan yang Tak Dikehendaki Langit

Eksekusi pun akhirnya ditunda. Tidak ada bentrokan, tetapi yang tersisa adalah tanya yang menggantung di udara. Bukan tentang tanah itu—sebab hukum telah menjawabnya—melainkan tentang anak-anak yang dijadikan tameng dalam perlawanan ini.

Siapakah yang akan menjaga mereka dari trauma yang tersisa?

Siapakah yang akan memastikan mereka tidak kehilangan kepercayaan pada dunia orang dewasa, yang hari ini memperalat mereka untuk sebuah perjuangan yang bukan milik mereka?

Langit, yang sejak pagi menahan tangisnya, akhirnya mengirimkan gerimis. Tanah yang diam itu pun menerima butiran hujan dengan pasrah, seperti seorang tua yang tahu bahwa nasibnya bukan lagi miliknya sendiri.

(*)


Posting Komentar

0 Komentar