A+ | Hari itu sendu, mendung menggelayut hampir tak tahan untuk tidak tumpah jadi hujan. Seorang remaja berdiri di kebun pisang. Perutnya kosong, pikirannya penuh. Ia tak punya uang, tak punya orang tua yang bisa diminta bantuan. Hanya ada adik kecil di rumah yang juga kelaparan. Maka, ia lakukan hal yang dianggapnya sederhana: mengambil pisang tanpa izin.
Tapi dunia ini tidak sesederhana itu. Ia tertangkap. Warga mengaraknya ke kantor Polisi. Seorang bocah piatu (tanpa ibu) yang hanya ingin mengisi perutnya kini harus berhadapan dengan hukum.
Beruntung, polisi di Tlogowungu masih punya hati. Mereka tidak sekadar melihat hukum hitam-putih. Mereka mendengar, mencari tahu, lalu menemukan fakta pilu: ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi, dan ia serta adiknya dibiarkan bertahan sendiri.
Hukum bisa jadi keras. Tapi keadilan harus tetap punya rasa. Maka, dipilih jalan tengah: restorative justice. Polisi memediasi. Pemilik pisang memaafkan. Bocah itu bisa pulang tanpa beban pidana.
Tidak hanya itu. Kapolresta Pati turun tangan. Simpati tumbuh. Bantuan sembako datang. Lebih dari itu, adiknya diangkat menjadi anak asuh Polsek. Sang kakak diberi pekerjaan agar bisa bertahan hidup dengan cara yang benar.
Kisah ini seharusnya tidak terjadi. Tapi ini bukan soal siapa yang salah. Ini soal bagaimana kita, sebagai masyarakat, melihat anak-anak yang terpinggirkan. Berapa banyak anak lain yang kelaparan malam ini? Berapa banyak yang harus mencuri, bukan karena ingin, tapi karena terpaksa?
Negeri ini harus lebih peduli. Jangan sampai keadilan hanya milik yang berpunya. Jangan sampai anak tanpa orang tua harus mencuri pisang untuk bertahan hidup.
Tapi dunia ini tidak sesederhana itu. Ia tertangkap. Warga mengaraknya ke kantor Polisi. Seorang bocah piatu (tanpa ibu) yang hanya ingin mengisi perutnya kini harus berhadapan dengan hukum.
Beruntung, polisi di Tlogowungu masih punya hati. Mereka tidak sekadar melihat hukum hitam-putih. Mereka mendengar, mencari tahu, lalu menemukan fakta pilu: ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi, dan ia serta adiknya dibiarkan bertahan sendiri.
Hukum bisa jadi keras. Tapi keadilan harus tetap punya rasa. Maka, dipilih jalan tengah: restorative justice. Polisi memediasi. Pemilik pisang memaafkan. Bocah itu bisa pulang tanpa beban pidana.
Tidak hanya itu. Kapolresta Pati turun tangan. Simpati tumbuh. Bantuan sembako datang. Lebih dari itu, adiknya diangkat menjadi anak asuh Polsek. Sang kakak diberi pekerjaan agar bisa bertahan hidup dengan cara yang benar.
Kisah ini seharusnya tidak terjadi. Tapi ini bukan soal siapa yang salah. Ini soal bagaimana kita, sebagai masyarakat, melihat anak-anak yang terpinggirkan. Berapa banyak anak lain yang kelaparan malam ini? Berapa banyak yang harus mencuri, bukan karena ingin, tapi karena terpaksa?
Negeri ini harus lebih peduli. Jangan sampai keadilan hanya milik yang berpunya. Jangan sampai anak tanpa orang tua harus mencuri pisang untuk bertahan hidup.
1 Komentar
Miris... nasib hidup di hamparan zamrud katulistiwa
BalasHapus