A+ | Jakarta, siang yang terik. Pukul 14.20 WIB, sekelompok massa datang ke Kantor Dewan Pers di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Mereka menyebut diri sebagai Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Media (KMSPM), membawa spanduk, poster, dan sebuah mobil komando. Tidak banyak, hanya sekitar tiga puluh orang, tapi suara mereka membelah udara.
Mereka datang dengan satu tuntutan utama: Dewan Pers harus memanggil Tempo. Tuduhan mereka tegas: media itu, kata mereka, adalah kepanjangan tangan kepentingan asing. Dalam orasi yang berulang-ulang, mereka menyebut Tempo menerima dana dari Media Development Investment Fund (MDIF), yang dikaitkan dengan George Soros.
Seorang orator berdiri di atas mobil komando, suaranya menggema di antara gedung-gedung:
"Kita tidak bisa membiarkan media yang dibiayai asing mengatur narasi di negeri ini! Media harus berpihak kepada rakyat, bukan kepada kepentingan luar!"
Di antara poster-poster yang mereka angkat, terbaca kalimat-kalimat bernada kecaman:
"Dewan Pers jangan biarkan media Tempo antek asing mengontrol narasi Indonesia."
"Media Tempo terafiliasi asing menghancurkan identitas lokal."
"Tempo melakukan spionase dan menerima dana dari MDIF George Soros."
Kecurigaan yang mereka suarakan seolah menggambarkan dunia yang dibagi dalam batas hitam dan putih. Bahwa media yang menerima dukungan dana luar otomatis menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing. Bahwa berita yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka pasti memiliki agenda terselubung.
Salah satu yang menjadi sasaran adalah Bocor Alus, program investigasi Tempo. Program ini, kata mereka, adalah propaganda terselubung, alat untuk memanipulasi opini publik. Mereka menuntut agar Meta memblokir akun Instagramnya.
Pukul 14.48 WIB, aksi mereka selesai. Massa bergerak menuju kantor Meta di Capital Place, Jakarta Selatan.
Tak ada pernyataan dari Dewan Pers. Tak ada komentar dari Tempo. Di antara panasnya siang dan berdebarnya tuntutan, yang tersisa hanyalah pertanyaan: dalam pertarungan narasi, siapa yang berhak menentukan kebenaran?
0 Komentar