Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Api dalam Sekam: Revolusi Kelas Menengah Imbas BBM Oplosan



Angin di pagi itu berembus ringan di jalan-jalan raya ibu kota. Mobil-mobil mengular, mengantre di SPBU. Aroma bensin bercampur bau logam tercium tajam. Seorang lelaki, mengenakan kemeja putih dengan jas kasual, mengeluarkan ponselnya dan mengamati layar: grafik sahamnya turun. Ia menghela napas, lalu turun dari mobil. "Masih ada Pertamax?" tanyanya pada petugas pompa.

Petugas itu menoleh, lalu menunduk, menggeleng. "Semua sama, Pak. Enggak ada bedanya sekarang."

Tak ada bedanya. Kata itu menggemuruh di kepala orang-orang yang ada di sana. Seorang eksekutif muda, wanita dengan blazer hitam yang duduk di kursi penumpang, mengerutkan keningnya. Seorang lelaki berusia empat puluhan, mungkin seorang pengusaha, mendekat. "Jadi, selama ini kita dikasih BBM oplosan?" tanyanya dengan suara yang tertahan. 

Cerita itu sudah beredar sejak pekan lalu. Masyarakat mendengar bisik-bisik dari mekanik bengkel, membaca utas panjang di media sosial, melihat bocoran dokumen dari whistleblower yang menunjukkan bagaimana BBM yang mereka bayar lebih mahal, yang katanya lebih berkualitas, ternyata tak lebih dari bensin bersubsidi yang dicampur aditif murah. Dan sekarang, di pagi itu, di SPBU itu, mereka menyadari sesuatu: mereka telah ditipu.

Lama mereka percaya bahwa sistem hanya menindas mereka yang di bawah. Rakyat kecil yang bansosnya disunat, yang tanahnya digusur, yang hak-haknya dihapus satu demi satu. Tapi mereka? Mereka percaya mereka kebal. Mereka bisa membayar lebih untuk bahan bakar yang lebih baik, untuk rumah yang lebih aman, untuk perlindungan hukum yang lebih tegas. Tapi hari ini, dalam antrean BBM yang seragam dalam kebohongan, mereka sadar bahwa mereka pun hanya angka dalam neraca laba rugi oligarki.


Ketika yang Marah Bukan Lagi Rakyat Kecil


Dalam sejarah, ketidakadilan sering menimpa yang paling miskin. Tapi revolusi jarang datang dari mereka. Lihatlah Prancis pada abad ke-18: rakyat jelata lapar, tapi revolusi meledak ketika kaum borjuis intelektual merasa bahwa takhta Louis XVI telah mempermainkan mereka. Lihatlah Iran pada 1979: ulama-ulama kaya dan cendekiawan berpendidikan Barat-lah yang membakar api Revolusi Islam, bukan buruh dan petani.


Kini, Indonesia dihadapkan pada sebuah pertanyaan: ketika yang tersinggung adalah kelas menengah atas, apa yang akan terjadi?


Mereka memiliki uang. Mereka memiliki jaringan. Mereka memiliki akses ke media, ke perbankan, ke teknologi. Mereka bisa membuat pasar bergejolak, menarik modal, memanipulasi opini. Mereka bisa membuat kekuasaan ketar-ketir hanya dengan memboikot, dengan menolak membayar pajak, dengan menulis satu kalimat yang tepat di kolom opini. 


Lihatlah Sri Lanka pada 2022. Krisis ekonomi yang menghancurkan negeri itu sebenarnya bukan hanya karena salah urus pemerintah, tapi juga karena kemarahan kelas menengah yang merasa tabungan mereka hancur, harga barang meroket, dan hak-hak mereka diinjak-injak. Dalam hitungan bulan, presiden melarikan diri dari istana, dan rakyat menduduki simbol-simbol kekuasaan.
Lihatlah Lebanon. Ketika inflasi menggila dan perbankan membekukan rekening warga, yang turun ke jalan bukan hanya kaum miskin, tetapi profesional, pengacara, dokter, insinyur---orang-orang yang merasa masa depan mereka dicuri oleh sistem yang korup.


Di Indonesia, selama ini kemarahan rakyat kecil mudah dipadamkan. Satu-dua peringatan dari aparat, satu-dua janji manis dari menteri, dan isu pun lenyap. Tapi jika yang marah adalah kelas menengah atas? Jika mereka yang selama ini diam---karena masih bisa menyiasati keadaan---kini merasa tak bisa lagi percaya pada pemerintah?


Tanda-Tanda Revolusi?


Seorang profesor ekonomi, dalam sebuah diskusi terbatas, berkata pelan, "Ini bukan sekadar soal BBM. Ini soal kepercayaan."


Dan kepercayaan adalah mata uang yang lebih berharga dari emas atau dolar. Ketika orang kehilangan kepercayaan pada pemerintah, revolusi bukan lagi soal kemungkinan---tapi soal waktu.


Para pemilik modal mulai memindahkan aset mereka ke luar negeri. Para pengusaha mulai berhenti berinvestasi. Para profesional mulai mempertimbangkan untuk bekerja di luar negeri. Perlahan, seperti pasir yang mengalir keluar dari genggaman, negara bisa kehilangan pijakannya sendiri.


Di media sosial, suara-suara itu mulai bergemuruh. Dari sekadar keluhan, menjadi pernyataan sikap. Dari pernyataan sikap, menjadi ajakan.


Dulu, revolusi butuh senjata. Kini, cukup dengan satu seruan boikot, satu seruan mogok pajak, satu seruan untuk menarik dana dari bank-bank yang berafiliasi dengan oligarki.


Di SPBU itu, lelaki dengan jas kasual tadi menghela napas. Ia memandang mobilnya, yang katanya diisi dengan BBM berkualitas tinggi. Sejenak ia berpikir, lalu berkata pelan, tapi cukup keras untuk didengar orang di sekitarnya:

"Kita ditipu. Kita tak bisa tinggal diam."


Dan di pagi itu, di tengah antrean yang tampak biasa saja, revolusi mungkin telah dimulai... 


- - - 


Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Api dalam Sekam: Revolusi Kelas Menengah Imbas BBM Oplosan




Posting Komentar

0 Komentar