Komunitas BUdaya Bekasi BangKIT (BUKIT) dalam audiensi dengan Dirjen Diplomasi, Promosi, dan Kerjasama Kebudayaan Kemenbud RI, Undri, S.S., M.Si. |
A+ | Budaya - Di negeri yang tanahnya subur, yang di bawahnya terkandung riwayat panjang tentang peradaban yang berulang kali lahir dan tenggelam, sebuah gagasan berusaha menemukan dirinya kembali.
Indonesia, sebagaimana disebut-sebut, adalah negeri yang ramah. Negeri yang kerap tersenyum kepada dunia, yang menerima tamu dengan tangan terbuka. Namun, di dalam keramahan itu, di lorong-lorong yang tak selalu terang, ada pertanyaan yang menggantung: masihkah bangsa ini mengenali dirinya sendiri?
Di lantai 11, Komplek Kemendikbud, pada sebuah siang di bulan Ramadhan 1446 Hijriah, tiga anak muda dari Bekasi mengetuk pintu waktu. Mereka membawa sebuah gagasan yang ingin mereka titipkan kepada sejarah, sebuah program yang mereka namai Gerakan Sadar Sesanti. Mereka adalah bagian dari komunitas BUdaya Bekasi BangKIT (BUKIT), sebuah kelompok yang percaya bahwa ingatan adalah sesuatu yang harus terus dipelihara, atau ia akan lenyap bersama angin zaman.
Mereka datang dengan harapan, dengan lembaran rencana yang telah mereka susun, dengan sebuah pertanyaan yang barangkali telah lama mengendap di benak mereka: dapatkah sesanti, filosofi yang sejak lama mengakar dalam setiap desa, kembali menjadi nafas kehidupan masyarakat? Mereka membayangkan program ini berjalan di 23 kecamatan, 180 desa, dan 7 kelurahan di Kabupaten Bekasi, sebuah upaya untuk mengembalikan kesadaran akan marwah leluhur.
“Swatantra Wibawa Mukti,” kata Rd. Ade Faried Nata Wiraguna, salah seorang dari mereka. Sebuah sesanti yang tak hanya bunyi, melainkan petunjuk arah bagi masyarakat yang berusaha menemukan jejaknya kembali. Dalam audiensi dengan Dirjen Diplomasi, Promosi, dan Kerjasama Kebudayaan Kemenbud RI, Undri, S.S., M.Si., mereka berbicara tentang nilai, tentang manusia yang tak boleh keluar dari martabat kemanusiaannya.
Pak Undri, dalam keterangannya, menyambut gagasan itu dengan hangat. Ia mengarahkan mereka untuk melanjutkan perjuangan ini ke Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah 9 Jawa Barat. Di sana, mungkin, sejarah bisa mendapatkan ruang untuk kembali bicara.
Tapi sejarah bukan hanya tentang mengenang. Ia juga tentang menyusun masa depan, tentang bagaimana sesanti itu tak hanya berhenti di teks-teks yang tersimpan di lemari arsip, tetapi juga hidup dalam keseharian manusia. Program ini, jika terlaksana, mungkin bisa menjadi bagian dari narasi besar pemajuan kebudayaan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017.
Namun, waktu selalu bergerak, dan dalam pergerakannya, banyak hal bisa terjadi. Apakah sesanti ini akan benar-benar kembali menjadi bagian dari kehidupan masyarakat? Ataukah ia akan menjadi kenangan yang hanya dikisahkan dalam diskusi dan seminar? Sejarah akan menjawab, dengan caranya sendiri.
Di luar gedung itu, Jakarta tetap sibuk. Jalan Sudirman tetap hiruk-pikuk dengan lalu lintas yang tak pernah betul-betul lengang. Sementara di Bekasi, di kampung-kampung yang dahulu menjadi saksi perlawanan terhadap kolonialisme, barangkali ada orang-orang tua yang masih mengingat, dalam suara yang samar, sesanti yang dahulu diucapkan oleh leluhur mereka. Barangkali mereka masih menunggu, kapan kata-kata itu kembali bermakna.
0 Komentar