A+ | Jakarta siang itu gerah. Matahari tegak lurus di atas kepala. Tapi puluhan orang berbaju merah terus berdatangan ke depan IRTI Monas, Jakarta Pusat. Mereka datang tidak untuk berteduh, apalagi menikmati sejuknya pepohonan. Mereka datang membawa suara. Membawa kemarahan. Membawa perlawanan.
Sabtu, 8 Maret 2025, waktu menunjukkan pukul 13.04 WIB ketika massa pertama mulai tiba. Belasan orang duduk di trotoar, mengusap keringat, menunggu kawan-kawan mereka. Tak lama, puluhan lainnya menyusul. Lalu sebuah mobil komando berwarna putih berhenti di tepi jalan. Nomor polisinya B 9695 CAE. Di atasnya, toa besar siap menggelegar.
Sekitar pukul 13.46 WIB, jumlah mereka sudah 127 orang. Dari Tangerang, dari Subang, dari Cimahi. Semua berkumpul di sini. Satu suara, satu seruan: cabut Omnibus Law! Stop PHK! Beri buruh kepastian kerja!
Badai PHK dan Muramnya Wajah Buruh
Di atas mobil komando, seorang perempuan menggenggam mikrofon erat. Suaranya lantang, meski wajahnya terlihat lelah.
"Kami sudah terlalu lama diam!" teriaknya. "Hari ini, kita harus bersuara lebih keras!"
Namanya Dela Gustiani. Ia salah satu penanggung jawab aksi dari Aliansi Buruh KASBI. Di hadapannya, lautan merah terus bertambah. Mereka menggenggam spanduk bertuliskan tuntutan mereka:
1. Cabut UU Cipta Kerja!
2. Stop PHK!
3. Hapus sistem outsourcing dan kontrak kerja!
4. Beri upah layak dan jaminan kerja!
5. Beri ruang laktasi dan daycare untuk buruh perempuan!
6. Sahkan RUU PPRT!
Di bawah, seorang buruh perempuan muda menatap lurus ke arah mikrofon. Ia mendengar setiap kata. Matanya sedikit berkaca-kaca. Mungkin ia ingat bagaimana pabrik tempatnya bekerja memutuskan kontraknya begitu saja. Tanpa alasan. Tanpa pesangon.
Atau mungkin ia ingat saat harus menyusui bayinya di toilet, karena tak ada ruang laktasi di pabriknya.
Atau mungkin ia ingat ketika gajinya tak cukup untuk membeli beras, sementara harga-harga terus naik.
Di antara massa, seorang pria berkaus merah berbisik, "Kalau bukan sekarang, kapan lagi?"
Monas, Saksi Perlawanan
Hari itu, Monas tidak sekadar menjadi ikon Jakarta. Ia menjadi saksi.
Saksi kemarahan yang tertahan terlalu lama. Saksi jeritan buruh yang kehilangan pekerjaan. Saksi perempuan-perempuan yang dipaksa memilih antara bekerja atau mengurus anak.
Dan ketika matahari mulai bergeser ke barat, suara dari mobil komando masih menggema.
Sebab bagi mereka, perlawanan belum selesai.
0 Komentar