Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Presiden (Prabowo) dan Sekjen (Partai Komunis Vietnam): Diplomasi, Simbol, dan Tafsir Politik

Sambutan kenegaraan kedatangan Sekjen Partai Komunis Vietnam di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta (9/3/25)


Presiden dan Sekjen: Diplomasi, Simbol, dan Tafsir Politik

Oleh: Mahar Prastowo 


Ada yang menarik dari rencana pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan To Lam Sekretaris Jenderal ng Cng sn Vit Nam, disingkat CSVN atau sebut saja Partai Komunis Vietnam (PKV). Bukan semata soal substansi diplomasi yang dijalankan, melainkan gestur simbolik yang terbaca dari tata pertemuan itu sendiri.

Dalam tradisi hubungan antarnegara, ada hierarki yang jelas. Kepala negara bertemu dengan kepala negara, menteri luar negeri dengan menteri luar negeri, dan pejabat partai dengan pejabat partai. Namun, ketika seorang presiden menyambut sekjen partai asing, pertanyaan muncul: dalam kapasitas apa pertemuan itu berlangsung?


Tata Negara dan Diplomasi Simbolik

Indonesia adalah negara demokratis dengan sistem pemerintahan presidensial. Kepala negara merangkap kepala pemerintahan, memiliki legitimasi politik yang datang dari pemilihan umum. Sementara itu, di Vietnam, Partai Komunis adalah satu-satunya kekuatan politik yang berkuasa, dan posisi Sekjen merupakan jabatan tertinggi dalam struktur politik negara itu, melebihi presiden dan perdana menteri.

Dalam tataran diplomasi formal, kepala negara Indonesia biasanya bertemu dengan kepala negara lain atau pejabat pemerintahan setara, seperti perdana menteri atau menteri luar negeri. Maka, pertemuan dengan sekjen partai asing mengundang spekulasi: apakah ini sekadar diplomasi partai, atau ada makna yang lebih besar? 

Banner penyambutan Sekjen Partai Komunis Vietnam di area Jalan Protokol Halim Perdanakusuma. (Foto:PPSU Kel. Kebon Pala)


Sinyal Apa yang Terbaca?

Kunjungan ini bisa dimaknai sebagai pengakuan bahwa dalam politik Vietnam, posisi Sekjen PKV bukan sekadar pemimpin partai, tetapi juga arsitek kebijakan dalam dan luar negeri. Namun, apakah dengan menyambut langsung To Lam, Presiden Indonesia sedang mengubah preseden diplomasi?

Jika pertemuan ini dalam kapasitas antarpartai, seharusnya mitra sejajarnya adalah pimpinan partai politik di Indonesia, bukan kepala negara. Namun, jika ada pertimbangan geopolitik yang lebih besar, maka pertemuan ini bisa ditafsirkan sebagai sinyal diplomasi yang lebih luas---bahwa hubungan Jakarta-Hanoi bukan hanya antarnegara, tetapi juga antarstruktur politiknya.


Politik Pragmatis dan Keseimbangan

Sejarah mencatat, hubungan Indonesia dan Vietnam mengalami perkembangan pesat sejak penandatanganan Kemitraan Strategis pada 2013. Sebagai sesama negara di ASEAN, kedua negara memiliki kepentingan bersama di berbagai bidang, termasuk perdagangan, pertahanan, dan stabilitas kawasan.

Namun, dalam diplomasi, pragmatisme harus berjalan berdampingan dengan kehati-hatian. Negara-negara demokratis umumnya menjaga batas tegas antara urusan kenegaraan dan urusan partai. Jika Indonesia terlalu akomodatif terhadap model komunikasi politik Vietnam, ada risiko tafsir bahwa sistem demokrasi kita mulai bergeser ke arah model yang lebih terpusat pada satu kekuatan politik.

Lalu, bagaimana dengan negara-negara lain? Negara-negara Barat, misalnya, biasanya berkomunikasi dengan Vietnam dalam kerangka hubungan bilateral formal, lebih sering dengan presiden atau perdana menteri Vietnam, ketimbang dengan Sekjen Partai penguasa.


Kesetaraan dan Kedaulatan Diplomasi

Pertemuan ini seharusnya dipandang dalam konteks bagaimana Indonesia menegaskan posisinya dalam politik global. Jika presiden menyambut sekjen partai asing, apakah ini berarti kepala negara kita juga bisa disambut oleh sekjen partai di negara lain? Ataukah ini hanya berlaku dalam kasus negara-negara dengan sistem politik satu partai seperti Vietnam dan China?

Diplomasi bukan hanya soal substansi, tetapi juga soal simbol. Setiap gestur, setiap pertemuan, setiap kursi yang disiapkan di ruang negosiasi memiliki makna. Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan luar negerinya tetap berjalan dalam koridor yang menjaga kesetaraan, bukan sekadar mengikuti arus dominasi politik global.

Pada akhirnya, politik adalah seni membaca tanda. Jika ada sesuatu yang tak biasa dalam pertemuan ini, pertanyaannya bukan hanya "mengapa?" tetapi juga "ke mana arahnya?"


_


Artikel ini telah terbit di SINI




Posting Komentar

0 Komentar