![]() |
Ilustrasi sales sambung pipa air Perusahaan Air Minum Daerah |
A+ | Pagi itu, dua orang perempuan membawa map plastik biru. Mereka berkeliling kampung, mengetuk pintu satu per satu. Di dalam map, ada lembar-lembar formulir sambungan air bersih.
"Boleh ngobrol sebentar, Bu? Kami dari dawis. Mau ngajak sambung air PAM."
Wajah mereka ramah. Tapi tak semua pintu terbuka dengan ramah juga. Ada yang menggeleng cepat. Ada yang mengernyit curiga. Beberapa hanya menutup pintu perlahan tanpa suara.
Itu bukan pertama kali mereka berkeliling. Sudah dua bulan lebih mereka menelusuri gang demi gang, menjelaskan soal air bersih, STBM, dan program sambungan subsidi. Tapi ternyata, menjelaskan soal air lebih sulit dari yang mereka bayangkan.
"Kalau air tanah masih bisa kami pakai, buat apa repot-repot sambung?" kata salah satu warga.
Mereka diam. Tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Beberapa hanya perlu waktu dan keyakinan.
Di Mana Pipa Bertemu Politik
Proyek air bersih ini sesungguhnya mulia. Disubsidi, digulirkan bersama program sanitasi, bahkan dijanjikan kualitas dan tekanan air yang baik.
Tapi di lapangan, semua rumit. Bukan karena airnya. Tapi karena manusianya.
Ketika sambungan mulai ramai, muncullah nama-nama yang mengklaim peran. Ketua RT bilang, "Tanpa saya, gak akan ada satu pun yang percaya." RW berkata, "Saya yang izinkan pipanya masuk." LMK menyahut, "Saya yang urus koordinasi sampai tingkat kota."
Dawis hanya diam. Mereka tahu siapa yang berkeliling sejak subuh. Tapi mereka juga tahu siapa yang memegang stempel.
Kompensasi, Kata yang Menghangatkan Lapar
Program ini memang memberi insentif. Rp15.000 untuk dawis dan RT per pelanggan baru. Rp7.500 untuk RW dan LMK per pelanggan dalam wilayah mereka. Jumlahnya kecil. Tapi ketika pelanggan sudah ratusan, angkanya mulai terasa.
Masalahnya, siapa yang berhak?
RT yang sudah diganti tetap menagih. "Saya yang ngawal dari awal." RW baru bilang, "Itu terjadi saat masa jabatan saya, jadi saya yang sah."
LMK lama mengaku punya daftar asli. LMK baru bawa tanda tangan lurah.
Semua ngotot. Karena ini bukan hanya soal uang. Ini soal pengakuan. Soal rasa dihargai setelah bertahun-tahun dianggap tak ada.
Pipamu, Masalahku
Di satu gang, pemasangan pipa menyebabkan paving rusak. Tidak ada yang memperbaiki. Warga protes. Ketua RT yang baru disalahkan. Padahal, perjanjian pemasangan terjadi saat masa RT lama.
"Kalau tahu begini, saya mending gak jadi ketua RT," keluhnya.
Di rapat warga, muncul suara-suara yang lebih panas. Ada yang bicara soal data pelanggan yang diubah, tanda tangan palsu, dan janji-janji kosong dari petugas lapangan.
Semua mencuat karena satu hal: tidak ada kesepakatan tertulis yang disepakati semua pihak dari awal.
Ketika Yang Lama dan Yang Baru Tak Saling Sapa
Menjelang akhir tahun, masa jabatan RT-RW dan LMK berganti. Seharusnya ini waktu untuk regenerasi. Tapi yang terjadi adalah perebutan warisan.
Warisan bukan dalam bentuk kantor atau alat tulis. Tapi daftar pelanggan air. Dan siapa yang berhak atas success fee.
"Kalau nanti dibayar ke yang baru, kami mogok!" ujar perangkat lama.
"Kalau dibayar ke yang lama, kami lapor ke kelurahan!" balas yang baru.
Tak ada yang bicara soal air lagi. Semua sibuk dengan angka.
Air Bisa Jernih, Tapi Hati Bisa Keruh
Seorang lurah akhirnya mengumpulkan semua pihak. Dia bawa dua tumpukan dokumen: satu dari perangkat lama, satu dari yang baru. Di tengah-tengahnya, dia letakkan gelas bening berisi air PAM.
"Lihat air ini. Jernih. Tapi kalau kalian saling lempar tuduhan, air ini tak akan pernah mengalir."
Lalu ia usulkan: semua harus duduk bersama. Buat berita acara. Sepakati siapa yang kerja, siapa yang dapat. Kompensasi dibagikan terbuka, ditandatangani bersama.
Karena air bukan sekadar proyek. Tapi juga ujian integritas.
Pelajaran dari Gang-Gang Sempit
Proyek air bersih tidak pernah sekadar urusan teknis. Ia menyentuh relung terdalam relasi sosial: siapa dipercaya, siapa dilupakan, siapa merasa pantas dihargai.
Sambungan rumah mungkin bisa dicapai dengan alat berat. Tapi sambungan hati butuh lebih dari sekadar program. Ia butuh kejujuran, pencatatan yang rapi, dan keberanian untuk adil bahkan pada mereka yang tak lagi menjabat.
Di kota besar yang makin haus, air bersih akan jadi hal biasa. Tapi kepercayaan yang bersih? Itu akan selalu jadi barang langka---jika kita tak menjaganya dari sekarang.
Air memang mengalir dari atas ke bawah. Tapi kepercayaan, selalu datang dari bawah ke atas.
Dan jika air bersih adalah hak, maka kepercayaan adalah fondasinya.
#Fiksi #ProgramNasionalKemenkes #AirBersih #SanitasiLingkungan #STBM #AirUntukSemua
#RTRW #Dawis #LMK #Lurah
#JurnalismeNaratif #Apdesi #AsosiasiPemerintahDesa #Kemenkes
#PemprovSumut #PemprovSumsel #PemprovSumbar #PemprovNAD #PemprovLampung #PemprovBengkulu #PemperovBabel #PemprovJambi
#PemprovBanten #PemprovTangerangRaya #PemprovDKJakarta ##PemprovJabar #PemprovJateng #PemprovDIY #PemprovJatim
#PemprovKalbar #PemprovKalteng #PemprovKalsel #PemprovKaltim #PemprovKaltara
#PemprovBali
#RTRW #Dawis #LMK #Lurah
#JurnalismeNaratif #Apdesi #AsosiasiPemerintahDesa #Kemenkes
#PemprovSumut #PemprovSumsel #PemprovSumbar #PemprovNAD #PemprovLampung #PemprovBengkulu #PemperovBabel #PemprovJambi
#PemprovBanten #PemprovTangerangRaya #PemprovDKJakarta ##PemprovJabar #PemprovJateng #PemprovDIY #PemprovJatim
#PemprovKalbar #PemprovKalteng #PemprovKalsel #PemprovKaltim #PemprovKaltara
#PemprovBali
0 Komentar