Antara Gangguan Layanan, Kepanikan Massal, dan Masa Depan Keuangan Jakarta Sebagai Kota Global
Oleh: Mahar Prastowo
Satu minggu setelah musim mudik Lebaran 2025, sebuah gelombang baru muncul, bukan di jalur Pantura atau Tol Trans-Jawa, melainkan di dunia maya: ajakan mengosongkan rekening Bank DKI. Viral di X (Twitter), Instagram, dan WhatsApp, seruan itu meluas di tengah frustrasi nasabah atas gangguan layanan transaksi antarbank Bank DKI sejak akhir Maret lalu.
Namun tak banyak yang tahu bahwa polemik ini berakar bukan semata pada sistem internal Bank DKI, melainkan juga bersinggungan dengan rekening giro operasional Bank DKI yang disimpan di Bank BNI, yang menjadi salah satu titik kritis dalam kegaduhan ini.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Dalam klarifikasi tak resmi yang beredar di kalangan internal perbankan, disebutkan bahwa selama proses pemeliharaan sistem pada akhir Maret, terdapat masalah sinkronisasi transaksi antarbank (off-us), terutama saat dana nasabah Bank DKI dikirim ke bank lain—termasuk BNI, BCA, Mandiri, dan lainnya.
Masalah ini menyebabkan transaksi tertunda (pending) atau gagal, padahal dana nasabah sudah terdebet. Di sinilah muncul kecurigaan dan kepanikan. “Uang saya hilang,” begitu narasi yang ramai di medsos. Padahal dana tidak hilang, tapi tertahan di perantara clearing, khususnya di jalur koneksi yang melibatkan rekening Bank DKI yang tercatat berada di Bank BNI.
Lazim sebenarnya dalam perbankan, seperti pada Rekening giro Bank DKI di BNI, digunakan sebagai intermediary account untuk beberapa transaksi antarbank. Masalahnya saat sistem DKI di-upgrade, mapping akun virtual ke rekening penampung di BNI sempat tidak sinkron, membuat dana nyangkut.
Dan sebagaimana info terkini yang sama-sama kita ketahui, berdasar klarifikasi sejumlah pihak baik ke Bank DKI maupun Bank BNI yang kemudian disampaikan ke publik, TIDAK ADA FRAUD. Yang terjadi adalah delay pada settlement, dan itu sangat teknis sifatnya.
Tapi perlu evaluasi sistem tentunya, supaya tidak terulang.
Dan sebagaimana info terkini yang sama-sama kita ketahui, berdasar klarifikasi sejumlah pihak baik ke Bank DKI maupun Bank BNI yang kemudian disampaikan ke publik, TIDAK ADA FRAUD. Yang terjadi adalah delay pada settlement, dan itu sangat teknis sifatnya.
Tapi perlu evaluasi sistem tentunya, supaya tidak terulang.
Mengapa Harus Lewat BNI?
Sebagian besar BPD (Bank Pembangunan Daerah), termasuk Bank DKI, menjalin kerja sama dengan bank-bank besar nasional seperti BNI atau Mandiri untuk memfasilitasi clearing antarbank, pengelolaan giro, dan penyimpanan likuiditas. Karena tidak semua BPD terhubung langsung ke sistem BI-FAST, maka mereka memakai bank nasional sebagai jembatan. Inilah yang disebut sebagai pooling account.
Namun, ketika terjadi gangguan sinkronisasi antara sistem internal Bank DKI dan Bank BNI, maka:
- Transaksi QRIS dan transfer antarbank mengalami delay.
- Nasabah tidak bisa melacak dana yang "hilang" karena berada di luar sistem front-end Bank DKI.
- Dan pihak call center pun tak bisa memberi kepastian waktu penyelesaian.
Kenapa Tidak Diungkap dari Awal?
Kemungkinan ada anggapan di manajemen Bank DKI, mereka khawatir jika informasi tentang rekening giro mereka yang berada di bank lain—apalagi bank nasional—dibuka secara luas, bisa menimbulkan kesan bahwa mereka tidak mandiri secara sistem. Ini menyangkut reputasi.
Namun justru karena tidak terbuka sejak awal inilah kepanikan massal makin membesar. Di media sosial, nasabah menyebut dana mereka "dicuri", "disabotase", atau bahkan "dihambat karena alasan politik". Beberapa bahkan menyebut ini sabotase terhadap Pemprov DKI terkait politik.
Reputasi dan Kepercayaan
Masalah ini akhirnya bukan hanya tentang server atau pemeliharaan sistem. Ini tentang kepercayaan publik terhadap institusi keuangan milik daerah.
Bank DKI tidak boleh lupa bahwa setiap gangguan layanan menyangkut uang masyarakat, bukan sekadar angka di sistem. Maka bila ada pihak ketiga yang terlibat dalam aliran dana, seperti BNI, seharusnya publik diberi pemahaman teknis yang memadai.
Solusi ke Depan
1. Penyempurnaan Sistem BI-FAST secara Mandiri: Bank DKI harus memperkuat infrastruktur agar tidak lagi bergantung penuh pada bank nasional untuk transaksi antarbank.
2. Transparansi Teknologi dan Mitra Kerja: Jika ada rekening di bank lain, jelaskan secara transparan bahwa itu bagian dari sistem clearing.
3. Upgrade Literasi Publik: Sosialisasi menyeluruh harus dilakukan agar masyarakat memahami alur transaksi digital.
4. Evaluasi Manajemen Risiko: Risiko reputasi akibat sistem perbankan harus masuk ke prioritas audit eksternal.
Epilog
Kisah rekening Bank DKI di BNI ini hanyalah salah satu benang kusut dari sistem keuangan daerah yang belum sepenuhnya mandiri. Ia mencerminkan transisi yang belum selesai: dari bank daerah menjadi bank digital daerah.
Satu kesalahan teknis bisa merusak kepercayaan bertahun-tahun. Tapi satu langkah transparansi bisa membangun kembali reputasi itu lebih kuat.
Dan di tengah semua itu, kita berharap, Bank DKI—yang sudah menjadi bagian dari identitas kota Jakarta—mampu bangkit bukan sekadar dari gangguan sistem, tapi dari kegagalan memahami pentingnya komunikasi krisis.
[]
0 Komentar