Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Buntil Daun Talas Bu Lurah Manten

 


Oleh: Mahar Prastowo


Pagi ini saya bangun bukan oleh suara alarm, tapi oleh aroma kelapa sangrai yang menyelinap masuk lewat celah pintu. Harum gurih yang membangkitkan ingatan akan masa kecil, ketika ibu saya masih kuat berdiri berjam-jam di dapur, memarut kelapa dengan tangan sendiri, mengulek bumbu dengan cobek batu yang diangkat dari Kali Jago.


Di meja ruang makan rumah kakak perempuan saya di kampung, yang bersebalahan dengan rumah ibu, sudah terhidang sepiring buntil.


Tidak banyak basa-basi. Saya duduk, menyendok nasi, dan menyantap buntil itu seperti orang kelaparan yang baru keluar dari hutan. Padahal saya baru bangun tidur. 




Buntil itu istimewa. Bukan dari pasar.


Saya tahu dari rasanya. Rasa yang tidak bisa ditiru oleh buntil-buntil di Jakarta, bahkan oleh warteg terlezat sekalipun. Tidak terlalu asin, tidak terlalu manis. Seimbang. Gurihnya pas. Ikan teri dan petai, yang disembunyikan di dalamnya seperti kejutan kecil, tersembunyi tapi terasa.


Setelah makan saya baru tahu: itu kiriman Mbak Puji, Bu Lurah Manten. Rupanya beliau tahu saya pulang kampung, setelah setahun lebih tidak muncul batang hidung di rumah ibu.


Bu Lurah Manten tidak pernah berubah.

Perempuan setengah baya dengan rambut diikat rapi dan selalu pakai daster khas emak-emak. Dulu beliau ibu penggerak PKK kelurahan karena Bu lurah, sekarang sudah purna, dan masih suka masak kesukaan Pak Lurah manten--Pak Anwari-- sendiri, termasuk buntil yang baru saja saya nikmati. 


Kata Pak Anwari, "ini buntil khas, Mas Pras. Bukan sembarang buntil. Ini pelas teri, dibungkus daun kimpul, bukan daun singkong."


Pak Anwari--lurah manten--panggil saya Mas karena sama ayah saya memanggil Pakdhe. Pernah tuwa kata orang Jawa. Karena kakek kami kakak adik.


Saya mengangguk pelan, sambil menyeka sisa santan yang menempel dan masih berasa di bibir. Saya baru sadar, mungkin ini yang dinamakan kuliner dengan rasa cinta. Bukan cinta dari yang bikin lapar, tapi cinta dari yang mengingatkan kita bahwa kita pernah dirindukan.


Daun kimpul. Daun talas.


Bukan bahan populer di dunia kuliner modern. Tapi di dapur kampung, ini lambang keuletan. Daunnya besar, tapi harus diproses hati-hati agar tidak gatal. Direbus dulu, dipijat-pijat. Lalu diisi parutan kelapa, bumbu merah, dan tentu saja teri. Dibungkus seperti lontong, diikat tali rapiah, dan dikukus hingga empuk.


Orang kota mungkin menyebutnya eksotis. Saya menyebutnya: nostalgia.


Ada yang lebih hangat dari buntil pagi itu.

Yaitu perasaan disambut. Tanpa perlu protokol, tanpa spanduk “Selamat Datang”, hanya dengan sepiring buntil daun talas dari Bu Lurah Manten. Sederhana. Tapi menyentuh sampai ke dalam.


Saya jadi berpikir, apakah kota sebesar Jakarta bisa mengajarkan kepekaan seperti itu?


Mungkin tidak.


Mungkin karena di kota, orang-orang terlalu sibuk jadi penting. Terlalu takut dianggap remeh kalau memberi perhatian dengan cara-cara sederhana. Tapi di kampung, sepiring buntil bisa menggantikan pidato penyambutan.


Saya tidak tahu berapa lama ibu saya akan tetap sehat dan Bu Lurah Manten akan tetap ingat kalau saya pernah jadi anak kampung sini. Tapi hari ini, saya bersyukur. Karena pulang itu bukan soal jarak. Tapi soal rasa.


Dan rasa itu, pagi tadi, namanya buntil. Pelas teri dibungkus daun kimpul.



Posting Komentar

0 Komentar