Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Paul Sathio-Iwan Sunito: Dari Sahabat Jadi Seteru

Kolase Foto SWA

Mahalnya Harga Sebuah Nama dan Kepercayaan


Oleh: Mahar Prastowo

Mereka pernah berbagi meja makan, mimpi, dan rencana masa depan. Duduk berdua sambil membolak-balik blueprint masa depan. Tertawa kecil sembari menyulut kopi di pagi Sydney yang dingin. Berangkat dari tanah air yang sama, membangun istana dari fondasi nol: itulah Iwan Sunito dan Paul Sathio.

Tapi sekarang?

Kini, blueprint itu jadi alat bukti. Meja makan berganti ruang pengadilan. Dan tawa itu... berubah jadi kutipan tajam di surat-surat gugatan.

Saya terhenyak membaca kutipan dokumen-dokumen itu. Dua nama besar diaspora Indonesia di Australia—yang membesarkan Crown Group seperti membesarkan anak kandung sendiri—harus bertarung. Bukan lagi membangun menara pencakar langit, tapi saling menghancurkan dengan surat somasi dan password bank yang diganti sepihak.

***

Saya pernah bilang, sahabat terbaik bisa menjadi musuh terburuk. Itu bukan peribahasa. Itu pelajaran hidup.

Iwan Sunito dan Paul Sathio tahu itu sekarang.

Saya tidak mengenal keduanya secara pribadi. Tapi membaca riwayat mereka seperti menonton dua karakter film epik. Iwan, arsitek visioner dari Surabaya, yang tumbuh di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Ia pergi ke Sydney bukan dengan koper penuh uang, tapi dengan kepala penuh gagasan.

Paul, sepuluh tahun lebih tua, insinyur teknik sipil dari Denpasar, yang sejak awal lebih praktis, lebih membumi. Ia membangun vila-vila, membangun kredibilitas. Mereka bertemu, cocok, dan sepakat membangun Crown Group. Dari Waterloo hingga Eastlakes, dari Sydney sampai Los Angeles—langit pun mereka tak batasi.

Dan mereka sukses.  

Sukses sekali.

Tapi begitulah hidup. Kesuksesan kadang jadi awal dari kehancuran.

***

Kata Iwan, semuanya mulai goyah sejak anak-anak Paul masuk bisnis. Masuk bukan sebagai peserta magang, tapi langsung di atas meja. Di belakang meja penting. Satu mengatur konstruksi. Satu mengatur penjualan. Kata Iwan, terlalu cepat. Terlalu istimewa.

"Bisnis ini bukan warisan kerajaan," kata Iwan. “Kami sudah sepakat ini bukan bisnis keluarga.”

Tapi Paul merasa lain. Mungkin ia merasa sudah waktunya mewariskan sesuatu ke anak-anaknya. Mungkin ia merasa anak-anaknya bisa dipercaya. Tapi kepercayaan bukan soal garis keturunan, bukan?

Ketika proyek Ashfield membengkak dua kali lipat dan molor dua kali lipat, Iwan mulai buka suara. Ketika proyek Eastlakes juga begitu, ia bicara lebih keras. Dan dari situlah semua retak menjadi keretakan besar.

***

Saya tahu, dalam dunia bisnis, pertikaian itu biasa. Tapi yang satu ini tidak biasa. Karena ini pertarungan bukan antara dua entitas asing. Tapi dua orang yang dahulu saling mempercayakan hidup. Yang dahulu sepakat tak melibatkan keluarga. Yang dahulu bahkan saling memanggil dengan sapaan yang penuh hormat dan persahabatan.

Iwan pernah mencoba damai. Menyerahkan tawaran 45 juta dolar. Lalu dinaikkan ke 97 juta. Ia bahkan datang ke rumah Paul, membawa istrinya. Membawa kenangan. Tapi Paul diam.

Seorang hakim akhirnya turun tangan. Penengah likuidasi ditunjuk. Crown Group—yang dulu dibesarkan dengan keringat dan air mata dua anak bangsa di tanah rantau—sekarang tak lagi mereka kendalikan sepenuhnya.

Dan saya hanya bisa bertanya dalam hati: apa semua ini sepadan?

***

Ada yang bilang, uang bisa membeli segalanya. Tapi tidak bisa membeli kembali kepercayaan yang sudah retak. Tidak bisa mengembalikan persahabatan yang sudah jadi bara.

Saya bayangkan, saat mereka berdua duduk di pengadilan nanti—mengenakan jas mahal, ditemani pengacara top—apakah mereka tak rindu saat-saat dulu? Saat mereka berdua tertawa karena gedung pertama mereka akhirnya berdiri?

Saya bayangkan, malam-malam Iwan duduk sendiri di luar kantor Crown, sambil menyeruput kopi. Mungkin mengenang saat ia dan Paul mengusung mimpi. Tapi sekarang, ia tak lagi “The Face of Crown”, melainkan wajah dari perlawanan.

Dan Paul, mungkin duduk sendiri juga. Dikelilingi anak-anak yang ia bela mati-matian. Tapi di dalam hati kecilnya, apakah tak ada sesal?

***

Crown Group sekarang tinggal nama. Tapi cerita di baliknya, lebih dari sekadar nama. Ini adalah cerita tentang kepercayaan yang dikhianati. Tentang sahabat yang jadi seteru. Dan tentang bisnis yang tak bisa selamanya netral ketika keluarga mulai masuk terlalu dalam.

Dari semua itu, saya belajar satu hal: bahwa dalam hidup, yang paling mahal bukanlah gedung pencakar langit. Tapi menjaga agar mereka yang membangun bersama kita, tetap bisa duduk satu meja tanpa saling curiga.

Dan sayangnya, harga itu... terlalu mahal bagi dua sahabat lama ini.

---

Mahar Prastowo adalah pengelola Tabloid LUGAS dan pemerhati diaspora Indonesia di luar negeri. 

Artikel ini telah diterbitkan di platform blog Kompas dengan judul: Paul Sathio-Iwan Sunito: Dari Sahabat Jadi Seteru

Posting Komentar

0 Komentar