Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Dedi Mulyadi Sudah Jadi Gubernur

Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat (foto:dokpri)


Saya mengenalnya di sebuah taman. Taman yang dulu hanya tanah kering di belakang kantor bupati, sekarang menjelma seperti bagian dari surga kecil. Tidak ada pagar tinggi. Tidak ada sekat-sekat resmi. Dan ayam-ayam masih bebas mondar-mandir di halaman rumah dinas Gubernur Jawa Barat itu.

Ya, Dedi Mulyadi kini Gubernur. Setelah bertahun-tahun ditertawakan, dikafirkan, bahkan disebut “lebih Hindu daripada orang Hindu”, akhirnya dia memimpin tanah Pasundan.

“Kalau sekarang saya disebut kafir, ya sudah. Tapi rakyat kasih saya mandat, itu sudah lebih dari cukup,” katanya sambil menyalami saya dengan senyum yang tidak pernah benar-benar hilang dari wajahnya.

Saya sudah lama ingin menulis tentangnya. Tapi saya menunggu waktu yang tepat. Dan waktu itu datang ketika saya menyaksikan sendiri: masjid di sebelah pura berdiri damai, warung makan tetap buka saat Ramadan, dan tidak ada razia paksa karena perbedaan keyakinan.

Ia memang bukan tipe pemimpin yang suka bicara di atas mimbar besar. Ia lebih suka duduk di warung, mendengarkan ibu-ibu bicara soal harga cabai atau anaknya yang susah sekolah. “Saya ini anak kampung, Pak,” katanya. “Saya tidak pernah diajari teori filsafat. Tapi sejak kecil saya hidup dengan orang Ahmadiyah, guru Katolik, dan tetangga yang Hindu. Jadi saya tahu persis, toleransi itu bukan omong kosong.”

Anti-Toleransi adalah Budaya Impor


Kata-katanya yang paling meledak—dan sempat membuatnya dikecam di media sosial—adalah ini: “Anti-toleransi itu budaya impor. Budaya Indonesia adalah gotong-royong.”

Ia mengatakannya sejak masih Bupati Purwakarta. Waktu itu, banyak ormas mendesaknya menutup warung makan saat Ramadan. Tapi Dedi malah mengeluarkan aturan Ramadan Toleran. “Silakan buka, asal memenuhi sembilan syarat,” katanya. Di antaranya: jangan buka terang-terangan, hormati orang yang sedang puasa, dan utamakan pelayanan pada non-Muslim, lansia, dan anak-anak.

Dia tidak sedang cari sensasi. Dia hanya ingin mengembalikan kebudayaan lokal yang selama ini diinjak-injak oleh tafsir-tafsir keras dari luar. “Kenapa orang pakai ikat kepala dibilang Hindu? Kenapa orang pakai sarung tidak disebut Arab? Padahal itu semua bagian dari budaya kita,” katanya sambil menunjukkan ikat kepala Sunda yang diberikan langsung oleh Bupati Gianyar, Bali.

Dari Caci Maki ke Kotak Suara


Dulu dia ditertawakan, sekarang dia dipilih. Dulu dia disebut sesat, sekarang dia ditasbihkan.

Kemenangan Dedi Mulyadi dalam Pilgub Jawa Barat adalah bukti bahwa rakyat sudah muak dengan politik identitas. “Wong saya ini NU tulen, masa dituduh Syiah. Saya tidak pernah belajar di Iran. Guru ngaji saya ya Pak Haji Udin di kampung,” katanya sambil tertawa.

Ia bercerita, guru SD-nya bernama Pak Uden. Katolik dari Flores. Galak, suka menampar. Tapi ketika pulang ke kampung, satu desa menangis. “Coba bayangkan. Di tengah mayoritas Muslim, guru Katolik paling galak justru paling dirindukan. Itu kan artinya ada yang salah sekarang kalau perbedaan dianggap ancaman,” katanya.


Jawa Barat yang Tidak Takut Beda


Di bawah kepemimpinannya, Jawa Barat berubah. Tidak banyak bicara, tapi terasa.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana Pemprov-nya membantu pembangunan tempat ibadah dari semua agama. Dari gereja di Garut, hingga vihara di Subang. Saya lihat bagaimana guru-guru yang dulu ditampar murid, kini dilindungi lewat Perda Pendidikan Bermartabat. Dan saya dengar sendiri bagaimana tukang parkir menyebutnya: “Pak Gubernur kita, yang gak pernah takut dibilang kafir.”

Ia tetap tidak berubah. Masih suka keliling kampung. Masih menolak mobil dinas mewah. Masih tinggal di rumah dinas sederhana, dengan kandang ayam dan lumbung padi di depan. “Supaya saya tidak lupa, bahwa saya dari kampung,” katanya.


Dan Ya, Dia Masih Dicaci


Dedi tahu, toleransi itu mahal. Ia tidak berharap semua orang suka padanya. Ia hanya ingin rakyat hidup damai. “Saya tidak minta dipuji. Tapi jangan rusak tanah ini dengan kebencian impor,” katanya pelan.

Saat saya pamit, ia mengantar sampai halaman. Di sebelahnya berdiri seorang ajudan dari Jawa Timur. “Saya Sunda, dia Jawa. Tapi kami satu niat: melayani rakyat.”

Saya lihat kembali taman itu. Ada bale bambu di pojok. Ada patung Dewi Sri dan tulisan aksara Sunda di tembok. Bagi orang yang tidak mengerti, itu mungkin simbol sinkretisme. Tapi bagi Dedi, itu adalah tanda cinta: pada tanah leluhurnya, pada toleransi, dan pada masa depan Indonesia yang tidak takut berbeda.

---

Catatan:
Tulisan ini bukan sekadar cerita tentang seorang tokoh. Tapi tentang harapan baru dari tanah tua yang sedang mencoba berdamai dengan masa depannya. Tentang seorang anak kampung yang tak mau tunduk pada dogma impor. Tentang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, yang menjadikan toleransi sebagai warisan dan perlawanan.

Posting Komentar

0 Komentar