Oleh: Mahar Prastowo
Persaingan dua raksasa ritel nasional, Indomaret dan Alfamart, mencerminkan arah transformasi ekonomi konsumsi di Indonesia: sentralisasi pasar, efisiensi sistem distribusi, dan pemusatan modal pada segelintir pemain besar. Tapi di balik dominasi mereka, terdapat realitas yang menarik untuk dibedah: mengapa Alfamart lebih kecil secara jumlah gerai, tapi justru lebih besar secara aset dan laba?
Mari kita lihat datanya tahun 2024:
1. Kapitalisasi dan Efisiensi Operasi
Secara struktur aset, Alfamart hampir dua kali lebih besar dari Indomaret. Ini menunjukkan bahwa Alfamart tidak hanya mengandalkan ekspansi fisik, tetapi juga mengoptimalkan efisiensi logistik, teknologi distribusi, dan sistem keuangan internal.
Laba usaha dan laba bersih mereka membuktikan hal itu: return on asset (ROA) Alfamart mencapai sekitar 8,3%, jauh di atas ROA Indomaret sekitar 5,1%. Artinya, setiap satu rupiah aset Alfamart lebih produktif dalam menghasilkan keuntungan.
2. Model Bisnis: Jaringan Waralaba dan Sentralisasi Distribusi
Kedua entitas memang menggunakan model waralaba, tapi Alfamart lebih adaptif dalam sistem distribusi berbasis wilayah dan pendekatan manajemen yang terdesentralisasi. Hal ini membuat mereka lebih gesit dalam mengatur pasokan barang dan promosi lokal.
Sebaliknya, Indomaret—yang berada di bawah payung Salim Group—lebih terpusat dan korporatis. Banyaknya jumlah gerai tidak dibarengi dengan profitabilitas yang setara. Di sini kita melihat paradoks ekonomi skala: besar tidak selalu berarti efisien.
3. Dampak Terhadap Struktur Pasar dan UKM
Kehadiran dua jaringan ini telah menekan eksistensi toko kelontong. Studi Bank Indonesia dan Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa dalam radius 100 meter dari Indomaret/Alfamart, omzet toko kecil turun hingga 30-50%. Ini yang dalam ekonomi disebut sebagai "crowding out effect" dari sektor formal terhadap informal.
Namun Alfamart mulai mengadopsi pendekatan hybrid: bermitra dengan pemilik usaha kecil, terutama dalam konsep "store partnership", yang memungkinkan partisipasi masyarakat lokal sebagai mitra waralaba.
4. Konsekuensi Terhadap Persaingan Sehat
Dominasi pasar oleh dua entitas besar bisa menyebabkan struktur pasar duopoli oligopolistik, dengan potensi dampak pada harga jual, preferensi produk, dan ruang gerak pemain ritel menengah. Dalam jangka panjang, ini bisa mengurangi daya tawar produsen kecil dan mendistorsi sistem harga yang adil.
Dari sisi regulasi, perlu ada pembaruan UU Persaingan Usaha dan Perdagangan untuk mendorong keberimbangan ekosistem ritel modern dan tradisional. Jika tidak, kita akan melihat konsentrasi ekonomi yang lebih tinggi—seperti yang terjadi di sektor sawit dan pangan.
Kesimpulan:
Keberhasilan Alfamart bukan sekadar karena jumlah toko, tetapi karena struktur efisiensi modal dan tata kelola yang sehat. Indomaret yang dikelola Salim Group perlu mengevaluasi ulang model ekspansi besarnya dan menyesuaikannya dengan era distribusi cerdas dan kebutuhan efisiensi kapital.
Di atas segalanya, kompetisi dua raksasa ini harus menjadi alarm bagi negara untuk menata ulang lanskap ritel Indonesia agar tidak menjelma jadi pasar yang semakin terkonsentrasi, semakin tidak inklusif.
***
Penulis adalah Pengelola sejumlah media online, news editor.
0 Komentar