Oleh: Mahar Prastowo
Harga emas sedang tinggi-tingginya. Di pasar global, logam mulia ini menembus rekor demi rekor. Di dalam negeri, masyarakat berbondong-bondong membeli emas batangan, bahkan perhiasan, bukan untuk gaya hidup, tapi untuk lindung nilai.
Namun pertanyaannya sederhana tapi penting: apakah harga emas bisa turun? Dan, apa saja yang bisa membuatnya menurun?
Mari kita jawab dengan mengupas dari hulu ke hilir, dengan tetap berpikir jernih.
Mengapa Harga Emas Melambung?
Salah satu penyebab utama adalah ketidakpastian global. Konflik geopolitik di Timur Tengah, ketegangan AS–Tiongkok, dan masih menyisanya dampak ekonomi pascapandemi membuat investor beralih ke emas sebagai safe haven. Harga emas dunia per April 2025 menembus USD 2.400 per troy ounce, rekor tertinggi sepanjang masa.
Faktor lainnya adalah suku bunga riil yang rendah, bahkan negatif di banyak negara maju. Saat suku bunga acuan naik, tapi inflasi tetap tinggi, artinya bunga riil tetap rendah. Dalam kondisi ini, emas, yang tidak memberikan bunga, jadi tetap menarik karena nilai riil uang kertas tergerus.
Ada pula faktor pelemahan dolar AS dan peningkatan permintaan dari bank sentral negara berkembang, terutama Tiongkok dan India, yang agresif membeli emas sebagai diversifikasi cadangan devisa.
Dan jangan lupa satu hal lagi: emosi kolektif manusia. Ketika harga emas naik, masyarakat makin tergoda membeli, berharap naik terus. Maka dorongan permintaan ini ikut mendorong harga naik. Irrational exuberance, kata Alan Greenspan.
Apakah Bisa Turun?
Tentu bisa. Harga emas, seperti komoditas lainnya, bergerak dalam siklus.
Ada beberapa hal yang bisa membuat harga emas terjun bebas atau paling tidak melunak:
1. Stabilisasi geopolitik dan ekonomi global. Bila konflik mereda, dan prospek ekonomi global membaik, investor mulai kembali ke aset berisiko tinggi seperti saham, dan keluar dari emas.
2. Kenaikan suku bunga riil secara signifikan. Bila bank sentral menaikkan suku bunga dengan serius dan inflasi berhasil dijinakkan, maka instrumen lain seperti obligasi menjadi lebih menarik dibanding emas.
3. Penguatan dolar AS. Karena emas dihargai dalam dolar, saat dolar menguat, harga emas akan cenderung melemah. Ini hukum gravitasi pasar.
4. Penurunan permintaan spekulatif. Ketika harga emas mulai dianggap terlalu tinggi dan tak masuk akal, spekulan mulai profit taking. Ini bisa men-trigger penurunan harga berantai.
5. Tekanan regulasi atau perpajakan. Bila pemerintah mulai memperketat aturan kepemilikan emas atau memberlakukan pajak tinggi atas transaksi emas, ini bisa meredam euforia.
Indonesia: Emas, Perilaku, dan Psikologi Kolektif
Di Indonesia, emas masih menjadi pilihan utama investasi masyarakat kelas menengah. Emas mudah dipahami, likuid, dan bisa diwariskan.
Tapi di sinilah paradoksnya. Ketika harga naik, justru makin banyak yang membeli. Harapan naik terus, seperti rumah di Jakarta atau sawah di Klaten.
Padahal logika ekonomi mengatakan: beli saat murah, jual saat mahal. Tapi pasar tak selalu logis. Pasar adalah cermin psikologi manusia.
Kata Kuncinya: Jangan Mabuk Emas
Pemerintah perlu mewaspadai efek lanjutan dari euforia emas ini. Lonjakan harga bisa memicu bubble. Bila meletus, bukan tak mungkin menimbulkan krisis kepercayaan di sektor lain.
Masyarakat juga perlu waspada. Jangan taruh semua telur di satu keranjang. Diversifikasi tetap prinsip utama. Emas memang mengilap, tapi bukan tanpa risiko.
Seperti kata pepatah lama: semua yang berkilau belum tentu emas. Tapi dalam dunia hari ini, bahkan emas pun belum tentu menyelamatkan.
Konten ini telah tayang di SINI
0 Komentar