
Oleh: Mahar Prastowo
Rabu pagi kemarin, udara di Margomulyo tidak istimewa. Tapi suasana di kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Timur, justru tegang tipis-tipis. Jan Hwa Diana datang. Tanpa poni. Tapi tetap dengan gaya lama: membantah semua dan menyalahkan banyak.
Ia duduk di ruang pemeriksaan. Ruang yang biasanya digunakan untuk menanyai buruh yang mengalami kecelakaan kerja, kini digunakan untuk memeriksa seorang pengusaha—yang entah kenapa, lupa terus.
31 laporan penahanan ijazah masuk ke Disnakertrans Jatim. Tapi Diana mengaku tidak kenal satu pun pelapor. Tidak pernah ada hubungan kerja. “Bahasanya selalu lupa,” kata Tri Widodo, Kepala Bidang Pengawasan dan K3, dengan nada datar—mungkin lelah menjelaskan berulang-ulang.
Bahkan, Diana menilai Disnakertrans Jatim seharusnya tidak menerima laporan itu. Aduan dianggapnya tidak valid. Logikanya sederhana: kalau aduan tidak benar, sebaiknya tidak diterima. Titik. Itu logika satu arah khas pengusaha yang tidak biasa disanggah.
Nama Jan Hwa Diana meledak sejak Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, sidak ke UD Sentoso Seal. Viral. Banyak yang mendukung. Tapi juga tidak sedikit yang menganggap ini drama pencitraan. Jan Hwa Diana membalas. Melaporkan Armuji ke Polda Jatim dengan tuduhan pelanggaran UU ITE. Dunia dibalik. Yang disidak malah melapor.
Dan kini, saat Disnakertrans Jatim menyelidiki lebih jauh, Diana tampak defensif. Dia bilang, berita-berita yang muncul tidak berimbang. Dia bilang, dia jadi korban hujatan netizen.
Padahal, para mantan karyawannya—yang ijazahnya masih tersimpan entah di mana—mulai bergerak. Hari ini, Kamis, 30 orang akan melapor ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak. Mereka mantan buruh UD Sentoso Seal. Bukan resign. Ada yang dipecat, ada yang memilih keluar sendiri. Tapi ijazah mereka tidak ikut keluar.
“Saya hanya minta ijazah saya dikembalikan,” kata Nila Handiani, salah satu pelapor pertama, dengan suara nyaris setengah berbisik. Ia tidak ingin menyebut siapa yang dilaporkan. Mungkin trauma. Mungkin takut. Mungkin tidak mau masalahnya menjadi tontonan terlalu banyak orang.
Yang jelas, menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja Surabaya, Ahmad Zain, kasus Nila sudah ditangani dan mediasi menyarankan ijazah dikembalikan. Tapi, sampai hari itu, belum kembali juga.
31 laporan. 12 perusahaan. Tapi Diana bilang, semua itu bukan miliknya. Dia cuma bekerja sama. Entah bagaimana teknisnya, pokoknya dia tidak merasa bertanggung jawab. Yang punya perusahaan bukan dia. Yang tahan ijazah bukan dia. Yang kenal karyawan juga bukan dia. Tapi nama yang selalu muncul ya: dia.
Cerita ini belum selesai. Polisi sudah menerima laporan. Saksi-saksi akan dipanggil. Diana mungkin akan kembali duduk di ruang sempit itu. Mungkin tanpa poni. Tapi, semoga kali ini, tidak tanpa ingatan.
Dan sementara publik memelototi siapa yang harus disalahkan, satu hal yang sering dilupakan adalah: ini tentang hidup orang-orang biasa. Tentang masa depan yang ditahan dalam map plastik di laci HRD. Tentang ijazah yang tak bisa digunakan karena dikunci oleh sistem kerja yang tidak pernah berpihak.
Di luar kantor Disnakertrans Jatim, seorang karyawan keluar dari ojek online, membawa map lusuh berisi fotokopi KTP, KK, dan surat pengalaman kerja. Dia tidak tahu apakah akan diterima kerja di tempat baru. Tapi dia tahu satu hal: ijazahnya masih belum kembali.
Baca perspektif saya lainnya di Kompasiana
0 Komentar