Oleh: Mahar Prastowo
Ketika ke Jepang, seolah terkonfirmasi sahu satu hal: orang Jepang tidak main-main soal kerja. Mereka bisa memelototi keramik yang pecah selama lima menit hanya untuk memastikan tidak ada serpihan tertinggal. Maka, ketika saya dengar bahwa ada lembaga pelatihan dari Tomo – sebuah kecamatan kecil di Majalengka – yang siap kirim tenaga kerja ke Negeri Sakura itu, saya konfirmasi langsung.
Namanya LPK GAESI. Tidak terkenal. Tidak heboh. Tapi hari itu, 4 Maret 2025, mereka membuat sejarah kecil. Bersama Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) dan Firsts Union Association, mereka menandatangani sebuah Perjanjian Kerja Sama. Tujuannya? Mengirim tenaga kerja Indonesia ke Jepang dan Korea. Bukan TKI sembarangan. Tapi mereka yang sudah dilatih. Yang siap mental, siap fisik, dan – kata Wilson Lalengke, Ketua Umum PPWI – siap tidak tertipu.
Saya kenal sedikit karakter Wilson. Alumni Lemhannas, tegas, dan kalau sudah bicara soal “melindungi rakyat kecil”, dia bisa jadi seperti pengacara jalanan. Penuh semangat dan idealisme. “Kami tidak mau ada lagi pemuda tertipu. Tidak mau ada lagi pekerja yang dijanjikan gaji besar tapi ternyata dipekerjakan seperti budak,” katanya.
Ia bicara seperti biasa: datar tapi tajam. Sementara di sampingnya, Mr. Abdul Rahman Dabboussi dari Firsts Union Association tampak serius. Seperti sedang menghitung berapa orang Indonesia yang bisa ia bawa ke Jepang dan Korea. Di sebelahnya lagi, Mahpudin – Ketua LPK GAESI – tampak seperti lelaki desa yang mendapat tugas berat: mendidik calon pekerja yang akan dikirim jauh-jauh melintasi samudra.
---
Saya bayangkan seorang anak muda dari Tomo. Namanya sebut saja Ardi. Lulusan SMK, pengangguran tiga tahun. Ayahnya petani singkong. Ibunya jualan gorengan di depan SD. Ia daftar ke GAESI, masuk pelatihan, dan tiga bulan kemudian bisa naik pesawat pertama dalam hidupnya – ke Osaka.
Itu mimpi. Tapi Perjanjian Kerja Sama itu sedang berusaha membuat mimpi itu nyata.
---
Wilson sadar bahwa mengurus pengiriman tenaga kerja bukan sekadar pelatihan dan visa. Ini soal manusia. Harapan. Cita-cita. Maka ia pasang dua sistem kontrol: pertama, pendaftaran hanya bisa lewat Sekretariat Nasional PPWI atau langsung ke GAESI. Kedua, PPWI akan ikut mengawasi proses pelatihan dan pengiriman agar tidak ada yang dicurangi.
Saya suka bagian itu. Kontrol. Karena pengalaman menunjukkan, industri pengiriman tenaga kerja bisa jadi ladang subur bagi para calo dan makelar harapan.
Mereka yang mendaftar, kata Wilson, harus berusia 18–40 tahun. Laki-laki atau perempuan. Dan harus siap ikut pelatihan di Majalengka. Lokasinya di Jalan Raya Bandung–Cirebon, Kilometer 75. Dekat jalan utama. Tapi jauh dari hiruk-pikuk Jakarta.
---
Hari itu, tidak ada media besar yang meliput. Hanya tim internal, beberapa pengurus yayasan, dan segelintir pewarta warga. Tapi saya tahu: justru dari ruang-ruang sepi seperti inilah biasanya perubahan kecil berawal.
Dulu, revolusi industri juga dimulai dari bengkel-bengkel kecil di pinggiran London. Bukan dari istana kerajaan.
---
Kalau Anda pembaca ini sedang cari peluang kerja, mungkin ini saatnya. Tapi lebih dari itu, mungkin ini saatnya kita mulai memandang lembaga seperti PPWI dan GAESI dengan kacamata baru: bukan cuma sebagai organisasi, tapi sebagai jembatan mimpi – dari desa ke dunia. Dari Tomo ke Tokyo. Dari Sumedang ke Seoul.
Dan jika Anda bertanya, kenapa seorang ketua organisasi wartawan tiba-tiba urus tenaga kerja?
Saya jawab: karena kadang, di negeri ini, pewarta tidak cukup hanya menulis. Kadang, mereka juga harus turun tangan. Menyediakan jalan. Menjaga mimpi. Menjadi harapan.
---
Jadi, bagi Anda yang tertarik bekerja di luar negeri, khususnya Jepang dan Korea, tunggu apa lagi? Silahkan konsultasi ke Sekretariat Nasional PPWI, baik melalui Call Center di https://wa.me/6285772004248 (Ms. Wina) atau langsung ke alamat Sekretariat di Jl. Anggrek Cendrawasih X Blok K No. 29, Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah, Slipi, Jakarta Barat – 11480, DKI Jakarta, atau https://wa.me/6281378957515 (Mr. Julian Caisar).
0 Komentar