Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Maksud Hati Melindungi, Wakil Wali Kota Malah Dipolisikan

Wakil Wali Kota Surabaya (foto: suryamalang)

 
Surabaya, April 2025


Begitulah yang dialami Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji — atau yang lebih akrab dipanggil Cak Ji. Ia datang ke sebuah kawasan pergudangan di Margomulyo, Surabaya Barat, hendak membantu seorang warga yang mengaku ijazahnya ditahan perusahaan tempatnya bekerja.

Namun yang ia temui bukan pintu terbuka, bukan sambutan hangat, melainkan suara asing di seberang telepon yang menuduhnya penipu.

“Saya Wakil Wali Kota Surabaya,” kata Cak Ji memperkenalkan diri.
“Urusannya apa, Pak?” sahut suara perempuan yang tak menunjukkan tanda hormat, apalagi takut.

Itulah suara Jan Hwa Diana. Perempuan pemilik CV CC. Seorang ibu rumah tangga, pemilik perusahaan jasa outsourcing dan event organizer. Ibu dari enam anak. Yang kini melaporkan Cak Ji ke polisi.


Satu Telepon, Banyak Salah Paham

Diana mengaku sedang tidak di Surabaya ketika ditelepon. Ia menerima panggilan dari nomor tak dikenal. Mendengar seseorang mengaku pejabat, ia langsung curiga. “Saya kira penipuan. Sekarang kan banyak modelnya,” katanya.

Cak Ji, yang merasa datang membela rakyat, tersinggung. Ia ditolak masuk, kemudian diabaikan di telepon. Bahkan sempat dibilang, “Kalau ada masalah, lapor ke polisi saja!”

Nada bicara di telepon meninggi. Saling tuduh. Saling potong kalimat. Sampai akhirnya Diana menutup telepon begitu saja.

Yang terjadi setelahnya lebih heboh lagi.


Viral dan Melebar

Cak Ji mengunggah video ke media sosial. Ia berdiri di depan kantor perusahaan Diana, menjelaskan bahwa ada warga yang ijazahnya ditahan. Ia juga menyebut perusahaan itu “tertutup”, dan — dengan nada setengah bertanya, setengah menuduh — menyebut, “mungkin ini tempat menyimpan narkoba.”

Kata “mungkin” itu meledak di media sosial.

Diana merasa nama baiknya dijatuhkan. Suaminya ikut diseret. Foto mereka disebar. Akunnya ditandai. Komentar-komentar penuh hujatan masuk bertubi-tubi.

“Saya dituduh tanpa bukti. Saya bukan bandar narkoba. Saya juga warga negara,” katanya sambil memperlihatkan laporan polisi dengan nomor LP/B/477/IV/2025/SPKT/Polda Jatim.


Hukum dan Etika di Persimpangan

Ada yang bilang, Cak Ji terlalu reaktif. Ada juga yang menyebut Diana lebay. Tapi di antara keduanya, publik mulai mempertanyakan: bagaimana seharusnya pejabat publik bertindak dalam era media sosial seperti ini?

Cak Ji merasa tak bersalah. “Saya hanya ingin membela warga saya. Kalau dilaporkan, saya hadapi. Saya siap,” ujarnya dalam konferensi pers di Balai Wartawan Polda Jatim.

Sementara Diana menegaskan, ini bukan soal ego. Tapi soal keselamatan keluarganya. “Saya bukan tokoh politik. Anak-anak saya diteror. Suami saya disangka bandar narkoba. Semua karena satu video,” katanya.


Sengkarut Kecil di Kota Besar

Tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar tahu: apakah benar ijazah ditahan? Mengapa karyawan itu tidak melapor ke Disnaker dulu? Dan bagaimana bisa, tuduhan narkoba muncul hanya dari kesan “tertutup”?

Tapi beginilah wajah birokrasi dan media sosial di kota besar. Sengkarut kecil bisa jadi skandal. Reaksi cepat bisa dianggap serampangan. Niat baik bisa berbalik jadi bumerang.

Di antara gedung-gedung tua Surabaya dan suara klakson di jalanan, ada pertemuan tak sengaja antara pejabat dan rakyat. Antara kekuasaan dan kecurigaan. Antara “niat melindungi” dan “hak untuk dihormati”.

Diana tetap melapor. Cak Ji tetap merasa benar. Polisi tetap menyelidiki. Tapi satu hal jelas: kejadian ini bukan sekadar soal ijazah yang ditahan. Ini soal bagaimana kita saling memahami di era serba curiga.

Karena kadang, yang niatnya melindungi, justru bisa terasa mengancam. Dan yang merasa diancam, bisa jadi hanya sedang menjaga harga dirinya.


Artikel ini sudah terbit di DI SINI




Posting Komentar

0 Komentar