Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Mereka yang Tahu Sakit, Tapi Tak Paham Luka

 

Munafrizal Manan, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM di Kementerian Hukum dan HAM


Pagi itu di Bandung, udara masih enggan meninggalkan sisa-sisa dingin malam ketika kabar itu merebak. Seorang dokter—ya, seorang residen, calon spesialis—dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap pasiennya sendiri di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Bukan preman. Bukan orang mabuk. Bukan orang asing. Tapi seseorang yang diamanahi menyembuhkan, justru menorehkan luka baru.

Saya menulis ini sambil memutar ulang satu kalimat pendek tapi penuh makna yang diucapkan Munafrizal Manan, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM di Kementerian Hukum dan HAM:
“Profesi kedokteran sejatinya adalah profesi untuk kemanusiaan. Para penyandang profesi ini seharusnya lebih memiliki sensitivitas kemanusiaan.”

Tapi ternyata, tidak. Tidak semua.

Saya tak hendak menulis berita hari ini. Semua media sudah melakukannya. Saya ingin menulis luka. Bukan luka korban, karena kita mungkin tidak akan pernah cukup pantas mewakilinya. Tapi luka kita sebagai bangsa. Luka atas nama kepercayaan yang dikhianati. Luka atas nama pendidikan tinggi yang terlalu tinggi hingga lupa menyentuh dasar moral.

Kasus ini bukan pertama. Jauh sebelum ini, kampus-kampus kedokteran sudah menyimpan aroma tak sedap: bullying terhadap residen, kerja tanpa batas, jam belajar yang sering kali lebih mirip perbudakan intelektual. Dan kita semua tahu itu, tapi tetap membiarkannya berjalan, seolah itu bagian dari proses menjadi dokter yang kuat.

Tapi ternyata itu semua hanya menyiapkan ladang yang subur bagi kekerasan yang lebih besar: kekerasan seksual.

Lalu kita heran mengapa seorang dokter bisa memperkosa pasien? Mungkin karena dari awal mereka diajarkan cara bertahan, bukan cara memahami. Diajarkan menghafal, bukan merasakan. Diajarkan membedah tubuh, tapi tidak hati.

Saya teringat masa kecil di sebuah desa di Jawa. Ketika ibu saya sakit, kami pergi ke bidan desa, bukan karena dia hebat, tapi karena dia lembut. Dia tahu betapa sakit itu lebih mudah ditanggung ketika ada yang mendengarkan. Sekarang, di rumah sakit besar dengan teknologi paling canggih, kita tak tahu siapa yang mendengarkan siapa. Bahkan, siapa yang menyentuh siapa pun kini penuh curiga.

Kementerian Kesehatan sudah bertindak cepat: menghentikan sementara program residensi spesialis Anestesi di RSHS. Memeriksa kondisi mental para peserta. Mengusulkan pencabutan STR pelaku. Semua itu penting. Tapi, seperti kata Dirjen Munafrizal, itu hanya respons kasuistik.

Dibutuhkan audit menyeluruh, bahkan revolusi senyap di dunia pendidikan kedokteran. Revolusi moral. Kalau perlu, evaluasi ulang seluruh kurikulum dokter spesialis. Evaluasi ulang sistem senioritas yang kadang lebih mirip militer dibanding lembaga akademis.

Dan kalau perlu: hentikan glorifikasi profesi dokter. Karena terlalu sering, keagungan itu menjadi tameng bagi kejahatan.

Saya percaya masih banyak dokter yang baik. Masih banyak guru besar yang mengajar dengan hati. Tapi suara mereka tenggelam. Terpendam oleh hiruk-pikuk gelar, akreditasi, dan skor indeks kinerja. Terlindas oleh sistem yang terlalu lama membiarkan kekerasan menjadi bagian dari didikan.

Di tengah masyarakat yang mulai jenuh dan kehilangan kepercayaan, siapa yang bisa mereka percaya kalau bukan dokter? Tapi bagaimana mungkin kita percaya, jika luka itu datang dari tangan yang katanya menyembuhkan?

Kita sedang berada di persimpangan sejarah pendidikan medis. Mau dibawa ke mana profesi ini, tergantung bukan pada alat bedah atau teknologi AI, tapi pada keberanian moral. Keberanian untuk membersihkan luka sebelum membalutnya. Keberanian untuk memulai dari awal, meski itu berarti harus menanggalkan segala kebanggaan institusi.

Karena kita tidak bisa mengajari orang menyembuhkan, sebelum mengajari mereka merasakan sakit. Dan kita tidak bisa menyebut mereka dokter, jika mereka tak pernah belajar apa itu luka. [mp]

Jakarta, 12 April 2025 

Posting Komentar

0 Komentar