Oleh: Mahar Prastowo
Pagi itu, Jakarta masih menghela napas panjang dalam kepungan asap dan deru kendaraan. Tapi ada satu kabar yang membuat sebagian warga tersenyum tipis di tengah kemacetan: Pajak BBM di Jakarta resmi turun.
Gubernur Pramono Anung—yang datang dari dunia politik dengan napas panjang dan langkah taktis—memutuskan sesuatu yang bisa dibilang "tidak populer bagi kas daerah, tapi sangat disyukuri rakyat." Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang selama ini menyumbang cukup besar bagi pendapatan asli daerah (PAD), dipangkas setengahnya.
Untuk kendaraan pribadi, tarifnya dari 10 persen menjadi 5 persen. Sementara kendaraan umum, dari 5 persen jadi tinggal 2 persen. Keputusan ini bukan semata-mata soal angka. Tapi tentang keberpihakan. Tentang siapa yang harus sedikit diperingankan bebannya saat ekonomi belum benar-benar pulih.
Bukan Sekadar Angka
Mungkin bagi sebagian pejabat, itu hanya persoalan angka. Tapi bagi seorang driver ojek online, itu bisa berarti tambahan dua liter Pertalite sepekan. Bagi ibu-ibu antar jemput anak sekolah, itu bisa berarti satu kali belanja sayur tambahan di pasar. Karena bagi rakyat biasa, setiap rupiah punya arti.
PBBKB itu selama ini tersembunyi dalam harga yang Anda bayar di pom bensin. Tidak kelihatan. Tapi terasa. Yang kita tahu, harga BBM bersubsidi—seperti Pertalite dan Solar—masih diatur oleh pemerintah pusat. Tapi harga itu sudah termasuk pajak daerah. Dan Jakarta, selama ini, mematok tinggi.
Sekarang, tarif itu diturunkan. Dalam diam. Tanpa seremoni.
Subsidi Jalan Terus
Sementara itu, di sisi lain, pemerintah pusat tetap setia mengucurkan subsidi. Hingga akhir Februari 2025, Rp10,6 triliun sudah keluar dari kas negara demi menjaga harga BBM tetap bisa dibeli rakyat kecil.
Ada 31,1 juta kiloliter Pertalite dan 17,3 juta kiloliter Biosolar yang disiapkan sepanjang tahun ini. Disalurkan oleh Pertamina Patra Niaga, sesuai kuota dan skema. Seolah menjadi rem tangan saat harga minyak dunia terus memainkan gas.
Yang menarik, pemerintah juga sedang menyusun ulang cara menyalurkan subsidi. Tak lagi dengan model lama. Tapi digabung antara bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi langsung kepada barang. Artinya, yang benar-benar membutuhkan akan lebih tepat sasaran. Dan yang memang menggunakan BBM untuk kerja—seperti sopir angkot, pengemudi logistik, atau pelaku UMKM—akan lebih ringan jalannya.
Jakarta Tak Lagi Serakah
Langkah Gubernur Pramono ini bisa dibaca sebagai sinyal bahwa Jakarta tak lagi sekadar mengejar PAD dengan membebani warganya. Kota ini mulai belajar menyeimbangkan antara menarik dan memberi. Pajak tetap ada, tapi tak boleh mencekik.
Mungkin ini bukan keputusan yang menyenangkan bagi Bappeda atau BPKD. Tapi di sinilah seni mengatur kota: ketika pemimpin berani mengambil risiko fiskal demi menenangkan sosial.
Karena kota ini bukan cuma deretan anggaran. Tapi juga denyut kehidupan. Bising klakson, peluh pengemudi, dan senyum kecil penumpang saat isi bensin tak lagi semahal kemarin.
Dan, mungkin... ini awal dari Jakarta yang baru.
Yang tak hanya memungut, tapi juga memeluk.
Surabaya, 24 April 2024
1 Komentar
Informatif
BalasHapus