Oleh: Mahar Prastowo
Saya menulis ini di dalam bus Handoyo. Antara Temanggung - Ngadirejo. Sambil bergoyang pelan mengikuti jalan ke arah Jakarta.
Sambil mengingat pertemuan siang tadi, dan wajah seorang guru: Pak Suparwi.
Saya sengaja mencari beliau.
Mumpung sekalian perjalanan pulang dari Surabaya.
Mampir Magelang.
Sekalian menuntaskan satu keinginan lama: menemui guru Penjaskes saya dulu.
Guru yang mengajarkan cara menyikat gigi yang benar.
Bukan dengan gerakan sembarangan.
Tapi dengan pola: mendatar, naik, turun — seperti mengisi TTS.
Juga mengajar makan, dikunyah 32 kali untuk mempercepat pencernaan dengan memperkecil partikel makanan, enzim pencernaan dalam saliva dan lambung lebih mudah bekerja untuk memecah makanan menjadi nutrisi yang dapat diserap tubuh.
Selain itu juga merangsang produksi air liur yang membantu membersihkan gigi dari sisa-sisa makanan.
Tapi saat itu bagi saya yang suka makan singkong dan getuk, supaya mudah ditelan, itu saja. Karena menelan singkong sebelum halus dikunyah bakal bikin keloloden, sampai mata mendelik, coba saja kalau tidak percaya.
Oh, Ya. Pak Parwi ini guru yang kalau pakai jas putih, semua orang bisa salah sangka: ini dokter.
Sampai sekarang saya masih ingat.
Pak Suparwi memang bercita-cita menjadi dokter.
Waktu SMP, beliau selalu juara.
Nilai-nilai sempurna.
Bisa memilih sekolah mana saja.
Tapi entah kenapa, masuk ke STM.
Bukan SMA.
Padahal zaman itu, masuk STM artinya mempersempit jalur akademik.
Apalagi untuk mengejar fakultas kedokteran.
Cita-citanya berbelok.
Ia tetap kuliah, di UNS.
Tapi jalannya sudah jauh dari impian semula.
Tidak menjadi dokter.
Tidak mengenakan jas putih di rumah sakit.
Tidak mengobati pasien.
Tapi, barangkali, dengan jalan itu, beliau menemukan sesuatu yang lebih besar.
Mengajar Penjaskes.
Membentuk ribuan anak agar sehat.
Agar tidak sakit.
Agar tidak butuh dokter.
Seperti membayar hutang cita-cita yang meleset.
Dengan cara yang lebih luas.
---
Saya mendengar kabar tentang beliau secara tidak sengaja.
Waktu makan siang di Griya Semilir, resto milik teman saya, Mas Azis dan Mbak Ida.
Mbak Ida — teman SMP dan SMA saya — bilang:
"Pak Suparwi kemarin tanya kamu, lho."
Saya langsung bersemangat.
Ini pertanda.
Malam itu, setelah salat Isya, saya ketuk pintu rumah beliau.
Sepi.
Mungkin sudah tidur.
Mungkin sedang khusyuk dalam doa malam.
Saya tidak mau mengganggu.
Besok paginya saya kembali.
Sebelum tengah hari.
Diketuk lagi.
Kali ini yang membukakan pintu adalah istrinya.
"Masih di sekolah," katanya.
Saya terkejut.
Pak Suparwi masih aktif mengajar?
Di usia segini?
Teman-teman guru beliau yang lain sudah banyak yang purna tugas.
Sudah menikmati masa pensiun.
Tapi Pak Suparwi masih di sekolah.
Masih mendampingi siswa.
Masih memakai peluit di lapangan.
---
Saya pun langsung menuju ke sekolah.
Kaki saya otomatis mengenal jalan itu.
Rasanya baru kemarin saya berlari-lari di lapangan itu.
Padahal sudah tiga puluh tahun lewat.
Dan di sana — di ruang guru — saya menemukan beliau.
Wajahnya hampir tidak berubah.
Masih bersemangat.
Masih tersenyum ramah.
Beliau langsung mengenali saya.
Bercanda.
Menceritakan kenangan lama.
Termasuk kebiasaan saya dulu:
Datang ke sekolah dengan buku bacaan aneh-aneh.
Bukan buku pelajaran.
Saya memang rakus membaca.
Sejak SMP, saya sudah membaca apa saja:
kitab Yaa Bunayya karya Imam Al-Ghazali,
memoar pejuang Afganistan Abdurrabir Rasul Sayaf,
hingga novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer — yang waktu itu masih dilarang beredar.
Juga buku-buku berat mata kuliah berbagai jurusan.
Semua saya lahap.
Caranya?
Begitu dapat buku pelajaran atau LKS, langsung saya habiskan di awal semester.
Kerjakan semua tugas.
Kumpulkan.
Supaya setelah itu saya bisa bebas.
Bisa membaca buku apa saja.
Bisa mengejar hobi lain di luar sekolah.
Beliau ingat semua itu.
Bahkan katanya kadang diceritakan ke siswa-siswa baru.
Tentang pentingnya membaca.
Tentang pentingnya mengisi kepala sebelum mengisi lembar jawaban.
Saya tersenyum mendengarnya.
Tapi semoga beliau tidak bercerita tentang kebiasaan buruk saya: jarang bawa buku pelajaran ke kelas, hehehe.
---
Bus Handoyo terus melaju.
Saya melongok keluar jendela.
Langit sore mulai gelap.
Lampu-lampu jalan menyala.
Dan saya masih terkenang pertemuan itu.
Pertemuan dengan seorang guru yang mengajarkan banyak hal:
Tentang menjaga kesehatan.
Tentang berusaha walau cita-cita tidak tercapai.
Tentang tetap berdiri di jalan pengabdian.
Pak Suparwi mungkin tidak pernah menjadi dokter.
Tapi beliau telah menyelamatkan banyak anak-anak dari sakit, dengan mengajarkan gaya hidup sehat.
Beliau mungkin tidak menjadi orang kaya.
Tapi kayanya beliau di hati murid-muridnya.
Dan saya tahu, dalam dunia yang berubah cepat ini,
dalam dunia di mana banyak orang kehilangan arah,
guru-guru seperti Pak Suparwi adalah pelita.
Pelita yang mungkin kecil,
tapi menyala stabil.
Tak padam.
Dan akan terus menyala,
dalam ingatan kami.
***
0 Komentar