Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Pelanduk Bisa Jadi Gajah Kecil

Ilustrasi (dok.pri DR Ruslan)


Oleh: Mahar Prastowo

Saya suka metafora gajah dan pelanduk di artikel DR. Ruslan (Cak Rush) berjudul Dua Gajah Bertarung, Para Pelanduk Unjuk GigiTapi saya ingin menambahkan satu hal: pelanduk bukan cuma bisa menari, ia bisa tumbuh jadi gajah kecil—kalau ia mau. Tapi bukan dengan cara meniru gajah. Apalagi bergantung padanya.

Kita terlalu sering terjebak dalam narasi bahwa dunia ini hanya milik para raksasa. Bahwa Amerika dan Tiongkok menentukan segalanya. Bahwa kita hanya bisa menunggu sisa-sisa limpahan. Lalu kita rebutan remah. Sampai saling sikut. Sampai saling menjatuhkan. Dan akhirnya lupa: kita juga punya tubuh. Kita juga bisa berdiri.

ASEAN hari ini memang berada di titik unik sejarahnya. Dalam terminologi dagang, ini window of opportunity. Tapi jendela itu tidak akan terbuka selamanya.  

Ketika perusahaan-perusahaan mulai mencari “rumah kedua” di luar Tiongkok, kita senang bukan main. Vietnam langsung pasang karpet merah. Thailand siap dengan insentif. Indonesia bikin kawasan industri khusus. Tapi kita lupa satu hal: relokasi pabrik bukanlah jaminan kesejahteraan. Bisa jadi hanya membawa mesin tua, sistem kerja lama, dan struktur upah murah yang tak banyak bedanya dari zaman kolonial.

Yang kita butuhkan bukan sekadar jadi tuan rumah baru. Tapi tuan rumah yang tahu mau dibawa ke mana rumahnya.  

Kalau kita tengok geliat aktifitas pabrik elektronik di Bac Ninh, Vietnam Utara. Pekerja muda-muda. Gesit. Disiplin. Tapi semua teknologi, semua desain, semua keputusan tetap dikendalikan dari Seoul. Atau Tokyo. Atau Silicon Valley. Vietnam hanya jadi tangan. Belum jadi kepala. Bahkan belum jadi otot.

ASEAN harus belajar dari itu. Jangan sampai kita hanya memindahkan perut dunia ke Asia Tenggara, tapi otaknya tetap di tempat lain.

Solusinya? Artikel Cak Rush Dua Gajah Bertarung, Para Pelanduk Unjuk Gigi sudah menyebut: integrasi kawasan, pendidikan vokasi, infrastruktur digital, dan konektivitas. Tapi saya ingin tambahkan: keberanian untuk meninggalkan status quo.  

Sudah terlalu lama ASEAN nyaman dalam konsensus longgar. Semua sepakat... untuk tidak benar-benar sepakat. Lalu kita puji-puji itu sebagai “kekuatan khas ASEAN.” Padahal itu kelemahan. Dan dunia tahu itu.

Saat ini, dunia sedang limbung. Lihat Eropa, terpecah di dalam. Lihat Amerika, terlalu sibuk dengan dalam negerinya. Tiongkok? Sedang menghadapi masa-masa paling tidak pasti dalam dua dekade terakhir.

Justru di tengah ketidakpastian global inilah, ASEAN bisa menawarkan stabilitas. Tapi stabilitas yang bukan karena diam, melainkan karena bergerak bersama.

Bayangkan kalau ASEAN punya “Silicon Valley-nya Asia Tenggara,” yang bukan di satu negara, tapi lintas-batas: pusat riset di Singapura, pabrik komponen di Malaysia, pusat manufaktur di Indonesia, tenaga kerja dari Filipina, distribusi lewat pelabuhan Thailand. Bukankah itu simfoni?

Tapi ya itu tadi: hanya mungkin kalau pelanduk berhenti saling sikut. Kalau pelanduk berani menumbuhkan tanduk. Kalau pelanduk tak lagi puas jadi penari, tapi mulai belajar menggubah musik.

Karena dunia tak butuh lagi panggung konflik dua gajah. Dunia sedang mencari harmoni baru. Dan siapa tahu, simfoni itu bisa dimulai dari sini—dari rumah kita, dari ASEAN. Dari pelanduk-pelanduk yang berani tumbuh jadi gajah kecil.  

Kalau tidak sekarang, kapan lagi?



Artikel ini hanya backup, telah terbit di SINI 

Posting Komentar

1 Komentar