Oleh: Mahar Prastowo
Yang tiba di Bandara Soekarno-Hatta siang itu bukan pasukan. Juga bukan pahlawan dalam pengertian umum. Mereka tidak pulang membawa medali, bukan pula sorak sorai. Yang mereka bawa adalah debu dan diam, sisa dari negeri yang diguncang gempa — Myanmar, 28 Maret 2025.
Ada enam puluh orang. Mereka menyebut diri: INASAR. Tim SAR Indonesia. Bersama mereka: enam dari Baznas, dua dari Vertical Rescue, tiga dari Kementerian Luar Negeri. Dan dua anjing pelacak. Namanya tak tertulis di poster penyambutan. Tapi langkah mereka pelan dan pasti, seolah membawa beban tak terlihat.
**
Yang menyambut: Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii, Kepala Basarnas. Ia bicara singkat, tapi nyaris nyastra:
"Tugas ini bukan soal kekuatan atau unjuk kehebatan. Ini tentang kemanusiaan."
Kata-kata seperti itu mudah terlupakan jika hanya jadi slogan. Tapi menjadi sesuatu yang lain ketika keluar di tengah debu dan peluh, di ujung landasan udara, saat satu negara baru saja kehilangan sebagian dirinya karena bumi menggeliat. Kata “kemanusiaan” tak lagi milik filsafat, melainkan tangan yang menggali reruntuhan, mata yang tak sempat tidur, tubuh yang memanggul anak-anak yang tak mereka kenal.
Dan barangkali, justru karena itu: menjadi lebih berarti.
**
Di Naypyidaw, mereka bukan datang sebagai bangsa yang ingin menonjolkan bendera. Tidak ada narasi besar tentang pengaruh. Tidak ada parade diplomasi. Mereka datang sebagai manusia yang mengerti apa artinya kehilangan.
Mereka bergabung dengan tim SAR dari Vietnam, Singapura, Filipina, dan tentu saja Myanmar sendiri. Di sana, INASAR menemukan lima korban. Mereka menggali bukan untuk angka, bukan untuk data. Tapi karena di bawah batu-batu itu, ada seseorang yang dulu hidup. Dan hidup itu — kata Albert Camus — adalah sesuatu yang patut diperjuangkan, bahkan setelah ajal.
**
Kita menyebutnya misi. Tapi barangkali itu kata yang terlalu rapi. Sebab kenyataannya tidak selalu tertib: luka, patah, dan sepi. Tim medis membuka layanan di sekitar lokasi operasi, menyambung tubuh-tubuh yang robek, menyeka air mata yang tak sempat jadi jerit.
Lalu ada empat orang dari Senkom Mitra Polri: Sandi, Hadi, Ali, dan Dr. Hidayat. Nama-nama kecil yang jarang kita baca di headline. Tapi mereka hadir. Mereka bagian dari cerita. Mereka membuktikan bahwa kemanusiaan tidak dibatasi oleh jabatan atau pangkat. Kadang datang dari mereka yang bahkan tak punya ruangan kerja tetap.
**
Goethe pernah berkata, “Kemanusiaan adalah jembatan antara dunia dan makna.” Mungkin itu yang dibawa pulang oleh mereka yang hari itu menginjakkan kaki kembali ke Indonesia.
Bukan hanya tubuh yang letih. Tapi makna — yang mungkin tak bisa dijelaskan, hanya dirasakan.
Dan barangkali karena itu pula, ketika mereka berjalan melewati garis penyambutan, tak ada sorak. Hanya sunyi yang padat. Karena kita tahu, ada sesuatu yang telah mereka tinggalkan di Myanmar — dan sesuatu pula yang mereka bawa pulang, meski tak terlihat.
**
Di ujung tulisan ini, saya ingin percaya: bahwa Indonesia tidak hanya hadir saat dunia memanggil. Tapi juga saat nurani mengetuk. Dan kadang, itu lebih penting daripada apa pun yang bisa dicatat oleh sejarah resmi.
Karena kemanusiaan, sesungguhnya, adalah satu-satunya hal yang tak pernah kehilangan relevansinya.
(mp)
0 Komentar