Sebuah Cerita dari Manggadua
Oleh: Mahar Prastowo
Manggadua. Nama yang harum bagi pemburu barang murah. Tapi juga nama yang mencuat dalam laporan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat sebagai “pasar bebas” barang bajakan.
Tentu bukan kali pertama. Sudah dari dulu, sejak era CD game PlayStation dan DVD film bajakan yang dirakit di kamar kos, kawasan ini memang terkenal dengan dua hal: harga miring dan barang nyaris asli.
Tetapi, kisah Manggadua bukan semata cerita bajakan. Ia lebih seperti ilusi raksasa tentang dunia konsumerisme kelas menengah Indonesia. Di sana, kita bisa menemukan apa saja: dari jam tangan mewah bermerek yang nyaris tak bisa dibedakan, hingga laptop gaming dan ponsel canggih yang katanya “ready stock”, padahal harus inden 2-3 bulan, dan kalau rusak, katanya harus “diservis di Singapura”.
Saya mencium keanehan itu sejak dulu. Mengapa merek-merek besar bisa begitu “ramah” dijual bebas di kios-kios kecil berlampu neon remang, tanpa papan nama resmi? Mengapa banyak pembeli percaya bahwa hanya di sana mereka bisa dapat harga terbaik — lengkap dengan garansi “bisa diurus” asalkan sabar menunggu?
Lalu saya ingat peristiwa belasan tahun silam. Kebakaran hebat melalap salah satu blok elektronik di Manggadua. Yang membuat geger bukan apinya, tapi temuannya. Di tengah puing-puing, ditemukan tumpukan perangkat elektronik mahal "apel krowak". Banyak dari mereka katanya sedang diservis. Dikirim ke Singapura. Padahal kenyataannya: mereka ngendon di gudang sempit yang panas. Di balik rolling door. Bersama aroma keringat teknisi tentunya.
Tentu ada yang menyangkal. Itu hanya sebagian kecil. Tidak semua toko di Manggadua seperti itu. Tapi publik punya memori panjang — apalagi para pehobi teknologi yang sudah kenyang dibodohi oleh istilah “barang eks-Singapura”, “rekondisi Batam”, atau “garansi toko 3 bulan, tapi bisa diatur”.
---
Saya coba menyusuri Manggadua beberapa pekan lalu. Sebelum ke Surabaya. Tidak banyak berubah, kecuali tampilannya yang kini sedikit lebih modern, tapi tetap penuh dengan lobi yang sepi dan eskalator yang ngadat. Di salah satu toko, saya bertanya soal laptop flagship dari brand premium.
“Ready, tapi kalau mau warna ini harus inden. Bisa 1 bulan. Kita kirim ke Singapura dulu,” katanya.
“Servis juga harus ke sana?” tanya saya.
“Biasanya iya. Tapi nanti bisa diurus, tergantung kerusakannya.”
Saya hanya tersenyum. Sudah tahu jawabannya.
---
Fenomena seperti ini bukan soal bajakan semata. Ini cermin dari sebuah strategi branding yang membingungkan. Brand internasional terkesan menjaga eksklusivitas dengan membatasi distribusi resmi. Tapi di saat yang sama, pasar gelap menyediakan semuanya — bahkan lebih cepat.
Dan pembeli kita? Mereka suka mitos. Mereka bangga menjadi bagian dari “rahasia umum”. Mereka senang saat bisa bilang, “ini dari Singapura, bukan barang pasaran.”
Amerika boleh saja menyoroti Manggadua sebagai surga bajakan. Tapi bagi sebagian orang, tempat itu adalah ruang bermain. Arena ilusi. Kawasan penuh cerita.
Yang perlu kita tanyakan adalah: mengapa ilusi itu begitu diminati? Mengapa kita begitu mudah percaya bahwa barang lebih mahal, lebih eksklusif, hanya karena katanya “harus dari luar negeri”?
Jawaban itu tak ada di Manggadua. Tapi ada di kepala kita sendiri.
---
Sementara Amerika melihat pelanggaran hukum, kita justru melihat pelajaran sosial. Tentang daya beli. Tentang prestise palsu. Dan tentang bagaimana konsumen kita terus belajar, meski kadang melalui cara yang tak lazim.
Kalau Anda pernah belanja di sana, Anda pasti tahu: yang Anda beli bukan hanya barang, tapi juga cerita. Dan cerita — seperti juga ilusi — kadang lebih mahal daripada harga aslinya.
(mp)
Artikel ini untuk mem-backup tayangan di sini
0 Komentar