Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Trump Bermain Api, Dunia Kembali Terbakar


A+ | OPINI -- Langkah Trump menaikkan tarif impor terhadap produk China hingga 104 persen bukanlah sekadar kebijakan dagang. Ini adalah bentuk arogansi ekonomi dalam kemasan populisme murahan. Amerika Serikat, yang selama puluhan tahun menjadi motor ekonomi global, kini berubah menjadi sumber instabilitas itu sendiri. Dan seperti biasa, dunia kembali menanggung risikonya.


Harga minyak yang terjun bebas hanyalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: ekonomi global yang sudah lama rapuh kini dipaksa menari di ujung jurang oleh kepentingan domestik Gedung Putih. Trump memantik api, berharap bisa menekan China bertekuk lutut, padahal efek domino justru menghantam sektor energi, manufaktur, hingga sentimen pasar secara keseluruhan.


Apakah Trump peduli? Tentu tidak. Seperti biasa, ia menjual kebijakan jangka pendek demi keuntungan elektoral, bukan keberlanjutan global. Ironisnya, justru negara-negara berkembang—yang paling rentan terhadap fluktuasi harga komoditas—yang akan menerima hantaman paling keras.


Lebih ironis lagi, di tengah permintaan yang lesu akibat ketakutan resesi, OPEC+ malah menambah pasokan. Ini seperti membakar bensin di tengah kobaran api. Seolah-olah koordinasi global hanyalah mitos yang kita percayai karena terlalu takut untuk mengakui: kita hidup dalam dunia yang kehilangan arah.


China tidak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu tahu betul ini bukan sekadar soal tarif, tapi tentang siapa yang mengendalikan abad ke-21. Maka jangan harap mereka akan menyerah. Mereka akan menggigit balik. Dan ketika dua raksasa saling pukul, negara-negara lain, termasuk Indonesia, harus cerdas membaca arah angin.


Apa yang bisa kita lakukan? Jangan terpaku pada harga minyak semata. Ini saatnya mempercepat transformasi energi, memperkuat pasar domestik, dan—yang paling penting—mengurangi ketergantungan pada narasi ekonomi global yang didikte Washington atau Beijing.


Karena jika tidak, kita akan terus menjadi penonton—atau korban—dalam drama geopolitik yang tak kunjung berkesudahan ini.



Posting Komentar

0 Komentar