Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Tujuh Hari Jadi Janda, Tapi Surga Sudah Mulai Dibangun di Rumah Ini


 

Jumat itu, hidup Ibu Intan berubah selamanya.

Suaminya—masih muda, baru 37 tahun—mendadak kena stroke sejak Minggu sore, kemudian dirawat di IGD Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya, hingga pada hari Jumat jelang adzan shalat Jum'at, beliau wafat. "Dari sekitar jam sembilan pagi posisinya tidur, saya kira tidur enak. Nggak tahunya dipundhut menjelang adzan shalat Jum'at," kata Bu Intan, istrinya.

Usia Ibu Intan 34 tahun. Anak pertamanya baru 3 tahun menuju 4. Yang kedua—masih merah, 3 bulan menuju 4 bulan. Masih menyusu. Masih bangun tiap dua jam sekali.

Dan bukan hanya dua anak itu yang ditinggalkan. Tapi juga seorang ibu—mertua Ibu Intan—yang sudah lama sakit. Tidak bisa bangun dari tempat tidur. Tidak bisa melakukan semua hal sendiri. 

Kini, semua tanggung jawab itu jatuh ke pundak Ibu Intan. Semua, berubah dalam satu hari.

“Kadang saya merasa tidak nyata semua ini,” katanya lirih. “Seperti mimpi buruk yang belum selesai.”

Saya hanya bisa diam.

Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan betapa beratnya hidup seorang perempuan yang baru 7 hari menjadi janda, 3 bulan menjadi ibu dua anak kecil, dan tiba-tiba juga harus menjadi perawat bagi ibu mertua yang terbaring tanpa daya.

Tapi di balik semua itu, ada cahaya yang tidak semua orang bisa lihat.

Aku dan perempuan yang pipinya menghitam karena menangis ditinggal mati suaminya, lalu ia bersabar membesarkan anak-anaknya yang yatim, maka aku dan dia seperti ini di surga,” sabda Rasulullah SAW sambil merapatkan dua jari tangannya. (HR. Ahmad)

Ibu Intan mungkin belum tahu. Tapi malaikat sudah mencatat: rumah itu kini sedang dibangun jadi jalan menuju surga.

Saya lihat ke sekeliling. Rumah itu berbagi ruang untuk kamar ibu dan bayi, tempat bermain balita, dapur, ruang perawatan lansia. Tidak ada pembantu. Tidak ada suster. Sementara ini masih ada ibunya Bu Intan, yang sebenarnya tinggal di daerah lain, beda provinsi, 11-12 jam perjalanan kendaraan. 

Ia menyusui, memandikan balita, menyiapkan bubur, mengganti popok, melayani mertuanya, lalu menenangkan dirinya sendiri. Semua dalam satu hari, setiap hari.

“Kadang saya lupa makan,” ujarnya. “Kadang lupa menangis juga.”

Saya menunduk. Terbayang sabda Nabi:
Sebaik-baik rumah kaum Muslimin adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim dan diperlakukan dengan baik.” (HR. Ibnu Majah)

Tapi di rumah Ibu Intan, bukan hanya anak yatim. Ada juga orang tua yang sakit. Dan semuanya dijaga dengan cinta.

Saya pulang dengan pikiran tak berhenti bekerja.

Berapa banyak rumah seperti ini di Indonesia? Berapa banyak perempuan seperti Ibu Intan yang tidak tercatat di statistik, tapi sedang memperjuangkan hidup dengan kekuatan yang tak terlihat?

Dan lebih penting lagi, berapa banyak dari kita yang bisa ikut membangun surga—cukup dengan datang, memeluk, atau sekadar mengantarkan makan siang?

“Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga seperti ini.” Sabda Rasulullah SAW sambil merapatkan dua jari tangannya. (HR. Bukhari)

Surga itu tidak hanya dicapai lewat amal besar. Kadang lewat rumah kecil di gang, yang di dalamnya ada bayi, balita, dan seorang nenek tua yang hanya bisa berdoa dari ranjang kayu.

Dan seorang ibu yang tidak menyerah, walau dunia seperti runtuh tujuh hari lalu.


Terima Kasih untuk Mama Puspa


Di balik setiap senyum dan tawa putra sulung Ibu Intan, ada tangan lembut yang tak kenal lelah—Mama Puspa, tetangga di depan rumah.

Mama Puspa, engkau sudah menjadi “mama kedua” bagi si kecil, yang kadang rindu pelukan ayahnya. Dengan penuh kasih sayang, kau ajari ia bermain, kau hibur ia kala tangis datang, dan kau sabar menemaninya melewati hari demi hari. Kau lembut menuntun langkah kecilnya ketika ia belajar berjalan, dan sabar membisikkan dongeng sebelum ia terlelap.

Terima kasih, Mama, karena telah menyediakan bahumu untuk tempat ia bersandar, telingamu untuk mendengarkan celotehnya, dan hatimu untuk merawatnya seperti darah dagingmu sendiri. Di saat Ibu Intan bergelut dengan segudang beban, kehadiranmu adalah cahaya yang menuntun keluarga kecil ini keluar dari gelap.

Semoga Allah membalas setiap tetes keringat dan butir doa yang kau hadiahkan untuk anak yatim yang kini menjadi buah hatimu. Semoga pahala besar senantiasa mengalir deras untukmu—seperti hujan rahmat yang kau bawa ke dalam rumah kecil itu.

Terima kasih, Mama Puspa. Dalam kesederhanaan langkahmu, kau sudah membangun jalan menuju surga.


Surabaya, 24 April 2025

Posting Komentar

0 Komentar