Oleh: Mahar Prastowo
Ada yang tak lagi renyah di meja makan Amerika. Bukan karena bumbunya kurang garam, tapi karena Negeri Paman Sam mulai ogah beli udang dari Indonesia.
Padahal udang adalah emas cair dari tambak. Ia menopang hidup petambak kecil dari Aceh hingga Lampung, dari Sulawesi hingga pesisir Jawa. Lebih dari 150 ribu ton udang per tahun meluncur ke Amerika. Nilainya? Hampir 2 miliar dolar.
Tapi kini, pasar itu keropos. Amerika mengetatkan standar. Isu keberlanjutan, jejak karbon, hingga tuduhan dumping menjadi hantaman. Indonesia pun terancam kehilangan pintu ekspor terbesarnya.
Lalu ke mana udang-udang itu akan pergi?
Saya membayangkan sebuah pagi di tambak udang tradisional di Lampung. Pak Wiryo, petambak yang sudah 30 tahun berkutat dengan air asin, duduk memandangi kolamnya.
"Kalau gak dibeli Amerika, siapa yang mau beli, Pak?" tanyanya lirih kepada air yang tenang.
Air itu tak menjawab. Tapi negara harus.
Menjual udang ke Tiongkok? Bisa. Tapi harga mereka seperti pembeli di pasar tradisional—menawar habis. Kirim ke Eropa? Bisa juga. Tapi siap-siap dengan regulasi rumit. Jepang dan Korea? Konsisten, tapi pilih-pilih. Timur Tengah? Tumbuh, tapi perlu promosi besar-besaran.
Maka muncullah satu ide gila. Tapi sangat Indonesia.
Udang untuk anak sekolah
Ya. Pemerintah sedang menyiapkan pemerataan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Targetnya 54 juta atau 24 juta anak di tahap awal. Sebutlah 24 juta anak. Jika satu anak makan 100-gram udang saja per hari, dikali 200 hari belajar, maka butuh hampir 480.000-ton udang per tahun.
Angka itu tiga kali lipat volume ekspor ke Amerika!
Gila? Mungkin. Tapi di situlah tantangannya. Dan peluangnya.
Apa artinya?
Pertama, udang bukan lagi sekadar komoditas ekspor. Ia bisa jadi alat revolusi gizi nasional. Anak Indonesia makan udang, bukan cuma untuk pintar, tapi juga untuk menyelamatkan petambak di pelosok.
Kedua, ini momentum untuk mengatur ulang ekosistem udang nasional. Dari tambak hingga piring makan anak-anak. Dari ekspor bahan mentah ke produk olahan dalam negeri.
Ketiga, Indonesia bisa menunjukkan kepada dunia: kami tak cuma produsen bahan mentah, tapi negara dengan program makan gratis paling ambisius yang menyerap hasil bumi sendiri.
Tapi, ya itu tadi. Butuh keberanian.
Ada risiko, tentu. Anggaran MBG tidak kecil. Rantai pasok harus dibangun. Standar keamanan pangan harus ketat. Korupsi harus dicegah. Dan industri udang harus siap bertransformasi.
Tapi saya lebih suka risiko seperti ini—daripada hanya mengandalkan satu negara pembeli.
Karena suatu hari, Pak Wiryo ingin melihat cucunya makan udang bukan karena mahal, tapi karena itu bagian dari masa depannya.
Dan saya ingin melihat ekspor Indonesia bukan cuma kuat di angka, tapi juga berdaulat di strategi.
Kita kehilangan Amerika?
Bukan masalah.
Kita punya 24 juta anak yang lapar dan berhak makan udang.
Konten ini telah tayang di platform blog kompas (kompasiana.com) dengan judul "Udang dan Sebuah Jalan Baru"
0 Komentar