Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Voorijder dan Wajah Privilege di Jalan Raya

Voorijder dan Wajah Privilege di Jalan Raya (Foto: Ist)

Ketika warga marah, namun tak ingin membenci

--Tanggapan atas unggahan publik René Suhardono di LinkedIn pada 14 April 2025--

Oleh Mahar Prastowo

Sirene meraung, lampu strobo menyala, suara pengatur lalu lintas dari pengeras suara menggema. Sebuah iring-iringan kendaraan melaju dengan cepat, meminta kendaraan lain menepi. Di tengah kemacetan ibu kota, semua orang tahu: ini bukan ambulans. Bukan pula mobil pemadam kebakaran. Kemungkinan besar, ini rombongan pejabat, pengusaha, atau tokoh penting lain dengan pengawalan voorijder.

Unggahan terbaru dari penulis dan pembicara publik René Suhardono di media sosial menarik perhatian publik. Ia menulis, “Satu hal paling menyebalkan saat melintasi jalan Jakarta adalah … rombongan dengan voorijder.” Keluhan René bukan soal personal. Ia mewakili kegelisahan banyak warga yang merasa haknya sebagai pengguna jalan terampas demi keistimewaan segelintir orang.

Namun tulisan itu tidak berhenti pada kemarahan. René menawarkan sudut pandang yang lebih reflektif. Ia menekankan pentingnya membedakan antara emosi wajar — seperti sebal dan kesal — dengan kebencian yang destruktif. “Allah jauhkan hati kita dari kebencian,” tulisnya.


Ketika Jalanan Menjadi Cermin Ketimpangan

Fenomena penggunaan voorijder memang bukan hal baru di Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, hanya kendaraan tertentu yang berhak atas prioritas jalan: ambulans, pemadam kebakaran, kendaraan presiden dan wakil presiden, serta tamu negara.

Namun praktik di lapangan menunjukkan penyimpangan. Tidak sedikit pejabat publik, pengusaha, bahkan tokoh swasta yang mendapat fasilitas pengawalan meski bukan dalam kondisi darurat. Hal ini mengundang pertanyaan tentang penggunaan kekuasaan, etika publik, dan kesetaraan hak di ruang bersama.

Bagi warga biasa, kemacetan adalah bagian dari rutinitas. Namun bagi para pemilik privilege, jalur bebas hambatan disediakan secara instan. Ketimpangan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikis: rasa tidak dihargai, diremehkan, bahkan dikalahkan di jalan raya.


Marah sebagai Respons Sosial, Bukan Kebencian Pribadi

René Suhardono mengajak pembacanya untuk merefleksikan kemarahan sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Dalam narasinya, ia mengakui emosi yang muncul — sebal, kesal, marah — sebagai sesuatu yang sah dan wajar. Namun ia mengingatkan bahwa ketika kemarahan berubah menjadi resentment atau kebencian, yang tercederai bukan hanya tatanan sosial, tapi juga batin pribadi.

“Sangat mungkin apabila posisi dibalik, saya melakukan hal yang sama, bahkan lebih buruk,” tulisnya, menggarisbawahi pentingnya empati dalam menilai ketimpangan.


Saatnya Revisi Kebijakan dan Budaya

Fenomena voorijder tak bisa dilihat sebagai persoalan etika semata. Ini adalah soal tata kelola, penegakan hukum, dan kebijakan publik. Di banyak negara, penggunaan pengawalan jalan sangat dibatasi dan diawasi. Namun di Indonesia, ketiadaan transparansi dan lemahnya pengawasan membuat praktik ini kerap berlangsung tanpa akuntabilitas.

Edukasi publik juga penting. Pengguna jalan harus tahu hak dan kewajibannya. Aparat harus bertindak tegas jika terjadi pelanggaran. Dan pejabat publik — apalagi yang membawa nama negara — sepatutnya menjadi teladan dalam menjalankan etika di ruang publik.

Karena jalanan adalah cermin kecil dari republik: siapa yang merasa berhak mendapat jalur bebas hambatan, dan siapa yang harus menepi dalam diam.

Akhirnya...

René Suhardono menutup tulisannya dengan pertanyaan yang layak direnungkan:  
"Sekali gus bertanya-tanya: peraturan soal voorijder ini sebenarnya bagaimana ya?"

Pertanyaan itu bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi juga tentang keadilan, empati, dan bagaimana kita memaknai ruang bersama dalam demokrasi.

[mp]

Posting Komentar

0 Komentar